Optimalisasi industri petrokimia PT Tuban Petrochemical Industries atau Grup Tubanpetro dinilai bisa menjadi solusi untuk substitusi impor bahan baku industri petrokimia.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Optimalisasi industri petrokimia PT Tuban Petrochemical Industries atau Grup Tubanpetro dinilai bisa menjadi solusi untuk substitusi impor bahan baku industri petrokimia. Pelaku industri petrokimia berharap langkah ini segera tuntas agar investor yakin untuk masuk ke Tanah Air seiring dukungan jaminan bahan baku tersebut.
”Selama ini, bahan baku berupa kondensat diproses Tubanpetro sebagai bahan bakar. Kami ingin, kalau bisa, juga diproses sebagai bahan baku di industri,” kata Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Fridy Juwono dalam diskusi bertema ”Optimalisasi Industri Petrokimia Nasional” di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Berdasarkan data Kemenperin, impor produk olefin, aromatik, dan poliolefin pada 2016 senilai 4,023 miliar dollar AS. Nilai ini menjadi 4,626 miliar dollar AS pada 2017 dan 5,350 miliar dollar AS pada 2018.
Fridy menambahkan, olefin (etilen, propilen) dibutuhkan untuk memproduksi barang-barang plastik. Adapun aromatik (bensena, toluen, dan xilen) banyak dibutuhkan untuk industri tekstil.
”Kami mendorong industri-industri penghasil produk yang masih diimpor ini bisa berkembang,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan, pada 1985-1998 Indonesia pernah menjadi pemain terbesar petrokimia di ASEAN. Namun, saat ini Indonesia menjadi tujuan ekspor.
”Sejak 1998 sampai saat ini belum ada investasi baru yang besar, kecuali investasi di swasta, yakni Chandra Asri dan Lotte. Sementara kebutuhan produk olefin dan aromatik terus naik,” kata Fajar.
Tanpa investasi baru, tambah Fajar, diperkirakan impor bahan baku petrokimia pada 2030 bisa 60-70 persen dari saat ini sekitar 50 persen dari kebutuhan. Terkait hal itu, Inaplas berpendapat, negara harus hadir dan mempercepat utilisasi pabrik petrokimia di Indonesia untuk mengantisipasi kebutuhan yang terus meningkat.
Kehadiran negara akan menumbuhkan keyakinan pelaku industri berinvestasi lagi di industri turunannya. ”Apabila utilisasi TPPI (salah satu anak usaha Tubanpetro) jalan, setidaknya ada sekitar 1 juta ton nafta yang berpotensi dikonversi menjadi propilen dan etilen,” kata Fajar.
Menurut Fajar, hal ini akan memperkuat struktur industri poliolefin di Indonesia. ”(Struktur industri) untuk aromatik atau bensena, toluen, dan xilen juga akan lebih tangguh sehingga daya saing industri turunannya, misalnya industri tekstil, juga akan lebih bagus,” ujarnya.
Aset
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menuturkan, Indonesia mempunyai aset yang diperoleh saat menghadapi bank-bank bermasalah. ”Kita punya aset, yang didapat pada masa BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berupa pabrik-pabrik petrokimia dengan mesin kelas satu,” kata Isa.
Namun, tambah Isa, akibat terbelenggu masalah keuangan, pabrik-pabrik itu tidak punya modal kerja sehingga pemanfaatannya jauh dari optimal.
”Bahkan, pada waktu kami bekerja sama dengan Pertamina, pemanfaatannya \'tanggung\'. Pertamina menggunakan beberapa pabrik di Tuban hanya untuk kilang minyak. Hal ini jauh dari kegunaan sesungguhnya pabrik-pabrik tersebut,” ujar Isa.
Kondisi aset kelas satu dengan mesin-mesin orisinal tersebut makin lama buruk karena tidak dimanfaatkan dengan baik. ”Dan, tidak terpelihara dengan baik karena kita tidak punya dana untuk melakukan hal tersebut,” kata Isa.
Dia menambahkan, jika aset dapat dimanfaatkan dengan benar untuk memproduksi produk-produk petrokimia, akan ada potensi penghematan dana untuk impor sampai dengan Rp 5 triliun per tahun.
Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries Sukriyanto menuturkan, saat ini Tubanpetro siap dikembangkan lebih lanjut untuk menjawab persoalan importasi tinggi bahan baku petrokimia.