Keberadaan Pusat Logistik Berikat atau PLB, yang diinisiasi tiga tahun lalu, mulai terasa dampak positifnya. Namun, pengembangan PLB harus terus dilakukan agar dampaknya semakin besar sehingga bisa menekan biaya logistik yang dinilai masih besar.
Oleh
M CLARA WRESTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan Pusat Logistik Berikat atau PLB, yang diinisiasi tiga tahun lalu, mulai terasa dampak positifnya. Namun, pengembangan PLB harus terus dilakukan agar dampaknya semakin besar sehingga bisa menekan biaya logistik yang dinilai masih besar.
”Fasilitas PLB membantu kelancaran arus logistik nasional dan perputaran kas importir. Ukurannya memang masih kecil dibandingkan total impor, tetapi tetap membantu,” kata Ketua Badan Pengurus Daerah Gabungan Importir Seluruh Indonesia (Ginsi) DKI Jakarta Subandi di Jakarta, pekan lalu.
Dengan adanya PLB, barang impor tidak lagi ditimbun di pelabuhan. Dampaknya, importir tidak perlu membayar biaya penumpukan saat mengurus dokumen yang prosesnya bisa berhari-hari. Selain itu, importir bisa mengatur sendiri inventori di gudang PLB tanpa membayar dulu bea masuk dan pajak impor hingga barang keluar dari PLB.
Dengan adanya PLB, barang impor tidak lagi ditimbun di pelabuhan.
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok mencatat, jumlah kontainer yang masuk PLB melalui Tanjung Priok, Jakarta, selama Januari-Juli 2019 mencapai 13.769 boks, naik 82 persen dari periode yang sama tahun lalu. Namun, jumlah itu hanya dua persen dibandingkan total volume kontainer yang masuk ke tempat penimbunan sementara Pelabuhan Tanjung Priok yang mencapai 678.000 boks selama semester I-2019.
Menurut Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok Amin Tri Sobri, pertumbuhan kontainer yang masuk ke PLB sangat nyata. ”Tahun lalu, rata-rata 1.000 boks kontainer per bulan. Sekarang sudah 2.000 boks per bulan,” ujarnya.
Dengan lonjakan itu, waktu yang dibutuhkan untuk bongkar-muat (dwelling time) diklaim berkurang. ”Semula dwelling time selama Januari-Juli 2018 tercatat 8,61 hari. Pada periode yang sama tahun ini 3,04 hari,” kata Amin.
Pungutan
Menurut Subandi, selain memperbanyak fasilitas PLB, importir berharap pemangku kepentingan menghapus biaya-biaya tidak jelas yang sering ditagihkan ke importir. ”Masih ada sejumlah pungutan tak jelas atau kategori liar masih terjadi dan dilakukan oleh perusahaan agen pelayaran asing pengangkut ekspor-impor pada aktivitas importasi,” kata Subandi.
Pungutan itu antara lain biaya EHS (equipment handling surcharges), biaya EHC (equipment handling cost), uang jaminan kontainer impor, biaya surveyor, administrasi impor, dan biaya dokumen. Jika biaya-biaya itu tidak dipenuhi importir, dokumen delivery order (DO) tidak diberikan oleh agen pelayaran sehingga barang impor tak bisa keluar dari pelabuhan. ”Dokumen bill of loading (BL) harus disampaikan secara manual. Program DO daring juga belum ada manfaatnya bagi importir,” ujarnya.
Ke depan Ginsi berharap dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait kegiatan impor. Dengan demikian, pemerintah mendapatkan gambaran secara utuh apa yang terjadi di lapangan.
”Kami mengajak pemerintah agar mau melibatkan Ginsi selaku asosiasi mitra. Selama ini kami merasakan pemerintah kurang melibatkan asosiasi importir sehingga sering kali kebijakan yang diterbitkan kurang tepat,” ujar Subandi. (ARN)