Otomotif, bersama beberapa sektor industri lain, diharapkan membawa Indonesia masuk ke dalam kelompok 10 besar ekonomi dunia pada 2030. Asa itu antara lain ditandai dengan penetapan otomotif sebagai salah satu dari lima sektor prioritas dalam implementasi sistem industri 4.0.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Otomotif, bersama beberapa sektor industri lain, diharapkan membawa Indonesia masuk ke dalam kelompok 10 besar ekonomi dunia pada 2030. Asa itu antara lain ditandai dengan penetapan otomotif sebagai salah satu dari lima sektor prioritas dalam implementasi sistem industri 4.0.
Khusus sektor otomotif, peta jalan Making Indonesia 4.0 menargetkan Indonesia menjadi basis kendaraan bermotor internal combustion engine dan electrified vehicle untuk pasar domestik dan ekspor.
Hal tersebut mutlak didukung kemampuan industri nasional dalam memproduksi bahan baku dan komponen utama. Yang tak kalah penting adalah optimalisasi produktivitas di sepanjang rantai nilai industri otomotif.
Penetapan tersebut tentu tidak lepas dari perkembangan industri otomotif di Indonesia. Kapasitas produksi industri otomotif saat ini telah mencapai 2 juta unit. Penjualan mobil di pasar domestik pada 2018 sekitar 1,1 juta unit dan ekspor 264.500 unit. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo menyatakan, mereka berupaya agar angka ekspor pada 2019 dapat mencapai 300.000 unit.
Kementerian Perindustrian juga memasang target ekspor mobil pada 2025 mencapai 1 juta unit. Selama ini, harus diakui, telah tumbuh keinginan agar Indonesia jangan hanya jadi pasar. Di atas kertas, Indonesia, dengan jumlah penduduk kelas menengah yang terus meningkat, menjanjikan sebagai pasar barang produksi.
Indonesia harus menjadi basis produksi, bahkan basis ekspor, tak terkecuali di sektor otomotif. Meski demikian, upaya mencapai target ekspor jangan juga melupakan usaha untuk meningkatkan nilai tambah produksi di dalam negeri.
Peluang ini jelas terbuka karena industri otomotif berkaitan dengan banyak industri pendukung yang telah tumbuh di Indonesia. Tantangannya adalah mengoptimalkan kemampuan industri pendukung untuk memasok kebutuhan di sektor otomotif.
Salah satu contohnya adalah kebutuhan ban. Selain mengisi kebutuhan dalam negeri, industri ban di Indonesia selama ini juga menggarap pasar ekspor. Namun, jangan lupa, kebutuhan ban jenis tertentu di dalam negeri juga masih ada yang mesti dipenuhi dari impor.
Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian mencatat, jenis ban yang masih harus diimpor antara lain ban radial untuk kendaraan truk. Kapasitas produksi ban radial di dalam negeri baru sekitar 250.000 buah per tahun. Padahal, kebutuhannya sekitar 3 juta per tahun. Melihat data itu, ada celah kebutuhan yang bisa diisi produsen.
Belum lagi jika bicara komponen berbahan plastik untuk industri otomotif. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menaksir potensi serapan plastik lokal untuk sektor otomotif di Indonesia saat ini mencapai 200.000 ton.
Di sisi lain, serapan plastik lokal di sektor otomotif baru sekitar 60.000 ton. Artinya, ada celah berupa kebutuhan 140.000 ton plastik yang selama ini belum mampu diisi pelaku industri dalam negeri.
Berbagai celah kebutuhan ini mestinya bisa digarap optimal oleh pelaku industri di dalam negeri. Jangan sampai segala celah itu ditambal dengan produk impor. Tetap harus diingat, ada pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk menangguk nilai tambah dan dampak berganda sektor otomotif di Indonesia. Pekerjaan rumah tak cukup hanya dipandangi, tetapi mesti dikerjakan dengan tuntas. (C Anto Saptowalyono)