Indonesia Jadi Tuan Rumah SGATAR 2019
BADUNG, KOMPAS — Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tahunan Kelompok Studi Administrasi dan Penelitian Pajak Asia atau SGATAR 2019 pada 23-25 Oktober. Perpajakan ekonomi digital menjadi salah satu topik sentral dalam pertemuan itu.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Poltak Maruli John Liberty Hutagaol, di sela-sela temu media, Rabu (31/7/2019) malam, di Kuta, Badung, Bali, mengatakan, pertemuan akan berlangsung di Hotel Tentrem, Yogyakarta.
SGATAR didirikan pada 1970. SGATAR berfungsi sebagai forum administrator pajak untuk meningkatkan kerja sama dan mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan administrasi pajak.
John memaparkan, pertemuan tahunan SGATAR 2019 dihadiri sekitar 300 peserta dari 17 yurisdiksi/negara di kawasan Asia Pasifik. Peserta yang datang berlatar belakang praktisi peneliti, instansi pemerintah, dan organisasi yang fokus pada isu perpajakan. Misalnya, Pusat Administrasi Perpajakan Inter-Amerika (CIAT), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
”Pertemuan itu sifatnya bertukar pandangan serta mendiskusikan isu-isu strategis,” ujarnya.
Negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) melalui dokumen konsultasi publik Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy (Februari 2019) menyebutkan dua pilar kebijakan merespons tantangan pajak ekonomi digital.
Pertama, soal alokasi pajak yang menginginkan alokasi yang lebih besar ke negara-negara pasar tanpa memperhatikan kehadiran fisik. Kedua, terkait penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak melalui sistem pajak minimum.
Poltak mengemukakan, setiap negara diperbolehkan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembari menunggu konsensus global, terutama terkait pungutan Pajak Penghasilan (PPh). Mereka menanti keputusan mekanisme pungutan yang bersifat jangka panjang.
Kewajiban konsumen
Direktur Perpajakan I DJP Kementerian Keuangan Arif Yanuar mengatakan, pembayaran PPn transaksi barang di mana pun merupakan kewajiban konsumen. Akan tetapi, dia memandang, mekanisme pemungutan dan penyetoran PPn atas transaksi barang secara daring juga tidak mudah.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mensyaratkan suatu badan usaha harus berstatus sebagai subyek pajak dalam negeri atau dalam format bentuk usaha tetap (BUT). Dengan menyandang format ini, badan akan mendapat nomor pokok wajib pajak (NPWP) sehingga transaksinya bisa dipungut PPn.
”Kalau badan penyedia layanan sudah memiliki NPWP, penyetoran PPn mudah. Praktik ini bahkan telah berjalan. Jika penyedia layanan berasal dari luar negeri, tidak memegang NPWP Indonesia, permasalahan pertama terletak pada pemberian identitas agar mereka (pelaku) mau jadi penyetor PPn,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Arif, pembelian barang secara dalam jaringan berwujud fisik, seperti buku, dengan total nilai lebih dari 70 dollar AS, penyetoran PPn dilakukan melalui PT Pos Indonesia (Persero). Dengan kata lain, PT Pos Indonesia (Persero) berperan sebagai pengumpul dan penyetor PPn.
Permasalahannya, tidak semua transaksi belanja daring berwujud barang fisik. Ada transaksi berwujud barang tidak tampak (intangible goods), seperti langganan berbayar lagu dan video.
Beberapa negara telah mulai memungut PPn atas transaksi daring atas barang, baik berwujud maupun tidak. Misalnya, Australia dan Korea Selatan.
”Makanya, hal seperti itu perlu ditunjuk siapa yang bisa mengumpulkan dan menyetorkan PPn. Misalnya, Netflix memungut PPn atas semua transaksi pembayaran langganan video pengguna mereka, lalu Netflix bersedia mengumpulkan dan setor, kami memberikan Netflix dengan identitas apa?” kata Arif.
Beberapa negara telah mulai memungut PPn atas transaksi daring atas barang, baik berwujud maupun tidak. Misalnya, Australia dan Korea Selatan. Indonesia bisa mencontoh tata caranya, tetapi tetap harus dimodifikasi.
Arif mencontohkan, pemberian identitas, penyetoran dalam bentuk rupiah, dan antisipasi terhadap sengketa. ”Butuh peraturan tata cara yang bisa mengakomodasi hulu hilir. Bisa mengubah undang-undang atau peraturan menteri, kami masih mengkaji,” katanya.
Arif mengatakan, potensi penerimaan PPn atas transaksi daring barang cukup besar sejalan dengan tingginya pergeseran kebiasaan masyarakat berbelanja di internet.
Periklanan menjadi salah satu sektor yang terdampak oleh perubahan lanskap ekonomi digital. Platform, konten, dan model bisnis periklanan berkembang makin kompleks mengikuti pesatnya perkembangan digital yang ditawarkan perusahaan raksasa teknologi.
Facebook, misalnya, pada Kamis (1/8/2019), mengumumkan bahwa fitur collaborative ads sudah tersedia di Indonesia. Juru bicara Facebook untuk Indonesia, John Wagner, dalam siaran pers, menjelaskan, collaborative ads sebagai solusi yang dirancang untuk membantu pemilik merek meningkatkan jumlah kunjungan ke aplikasi atau toko daring milik mitra peritel.
Jadi, ketika pemilik merek menampilkan segmen tertentu dari katalog produk mereka, mereka hanya akan dapat menjangkau calon pembeli yang memiliki minat terhadap produk itu.
”Solusi ini membuat pemilik merek dapat menampilkan iklan produk yang dinamis di Facebook dengan memanfaatkan katalog dari toko mitra peritel mereka,” katanya.
Dalam simposium pajak di Fukuoka, Jepang, Sabtu (8/6/2019), menteri keuangan negara-negara G-20 menyebutkan, sejumlah perusahaan raksasa teknologi dinilai berusaha menurunkan tagihan pajak dengan mencatatkan laba di negara berpajak rendah meski konsumen terbesarnya bukan dari wilayah itu. Perusahaan raksasa teknologi yang dimaksud mencakup, antara lain, Google, Facebook, dan Twitter. (MED)