Industri keuangan menunggu dasar hukum atau regulasi dari pemerintah daerah terkait kemungkinan penghapusan utang atau kredit penyintas bencana, terutama di bekas likuefaksi di Sulawesi Tengah. Dasar hukum itu berupa penetapan bekas likuefaksi sebagai zona terlarang untuk hunian, sehingga bisa menjadi pertimbangan untuk penghapusan utang penyintas seiring dengan hilangnya hak atas obyek kredit.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS - Industri keuangan menunggu dasar hukum atau regulasi dari pemerintah daerah terkait kemungkinan penghapusan utang atau kredit penyintas bencana, terutama di bekas likuefaksi di Sulawesi Tengah. Dasar hukum itu berupa penetapan bekas likuefaksi sebagai zona terlarang untuk hunian, sehingga bisa menjadi pertimbangan untuk penghapusan utang penyintas seiring dengan hilangnya hak atas obyek kredit.
Demikian mengemuka dalam seminar bertema “Penetapan Status Hukum KPR dan atau Tanah Jaminan Kredit yang Terdampak Likuefaksi” di Palu, Sulteng, Rabu (24/7/2019), yang digelar Bank Sulteng.
Banyak rumah yang hilang dan rusak berat di bekas likuefaksi, terutama di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan dan Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu akibat gempa bumi 28 September 2018. Rumah tersebut difasilitasi perbankan melalui mekanisme kredit kepemilikan rumah (KPR). Tak ada data pasti berapa rumah KPR di bekas likuefaksi tersebut, tetapi sebagai gambaran, Bank BTN Kantor Cabang Palu memiliki 300 unit rumah dengan total kredit Rp 25 miliar.
Kepala BTN Kantor Cabang Palu Reno Rahargono menyatakan industri keuangan menunggu peraturan atau dasar hukum terkait penghapusan utang atau kredit. “Industri keuangan menunggu dasar hukum atau regulasi dari pemerintah daerah terkait kemungkinan penghapusan utang atau kredit penyintas bencana, terutama di bekas likuefaksi," ujarnya.
Dasar hukum yang diharapkan berupa penetapan bekas likuefaksi sebagai zona terlarang untuk hunian, sehingga bisa menjadi pertimbangan untuk penghapusan utang penyintas seiring dengan hilangnya hak atas obyek kredit.
Pemerintah telah menetapkan bekas likuefaksi, tsunami, dan jalur sesar, sebagai zona merah atau terlarang untuk hunian berdasarkan peta zona rawan bencana. Namun, peta itu perlu dikuatkan dengan revisi peraturan tentang rencana tata ruang dan wilayah. Revisi saat ini sementara dikerjakan baik di tingkat Pemerintah Provinsi Sulten maupun Pemerintah Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, tiga daerah yang terdampak bencana.
Belum memutuskan
Reno menyatakan selama ini industri keuangan belum memutuskan terkait penghapusan utang karena belum adanya dasar hukum sebagai acuan utama. Patokan sementara adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 45/POJK.03/2017 tentang Perlakukan Khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam. Dengan peraturan itu, bank memberikan kelunakan jangka waktu penundaan pembayaran kredit, mulai dari 6 bulan hingga 2 tahun.
Hapus tagih hal lumrah
Kepala Bank Mandiri Kantor Cabang Palu Bambang Indriatmoko menuturkan sebenarnya hapus tagih dan hapus buku hal lumrah dalam dunia perbankan. Selama ini, kedua mekanisme itu diberlakukan karena adanya kredit macet. “Kalau karena bencana, harus ada keputusan hukum tetap agar menjadi acuan bersama,” katanya.
Hapus buku maksudnya kredit dihapus dari pembukuan, tetapi tak menghilangkan hak bank untuk menagih kredit. Sementara hapus tagih berarti kredit tak ditagih lagi. Hapus buku bisa diputuskan langsung oleh bank, sementara putusan hapus tagih dilakukan dalam rapat umum pemegang saham.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate menyatakan dasar hukum yang bisa dijadikan acuan revisi rencana tata ruang dan wilayah. Revisi tersebut memasukkan bekas likuefaksi, bekas tsunami, dan jalur sesar sebagai zona merah atau terlarang untuk pembangunan hunian. “Revisi rencana tata ruang dan wilayah sementara berjalan. Kami akan membicarakan lebih lanjut dengan para pihak terkait penghapusan utang ini dengan dasar hukumnya,” ucapnya.
Hidayat menyampaikan sulit membayangkan kredit masih terus berjalan di saat obyek kreditnya tak ada lagi. Industri perbankan harus mempertimbangkan kondisi tersebut.
Revisi rencana tata ruang dan wilayah sementara berjalan. Kami akan membicarakan lebih lanjut dengan para pihak terkait penghapusan utang ini dengan dasar hukumnya
Andi Baso (34), nasabah KPR, menyatakan debitur butuh kepastian dari industri perbankan. “Selama ini tak ada penyampaian dan informasi yang jelas terkait kemungkinan penghapusan utang. Kami meminta segera diputuskan agar kami tidak bingung,” ucapnya.
Mekanisme hapus tagih pernah dilakukan BRI untuk korban letusan Gunung Merapi. Mekanisme sama juga diberikan perbankan untuk korban gempa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pada 2006.