Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan Terus Didorong
Penggunaan energi baru dan terbarukan terus didorong agar ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap energi fosil yang tidak dapat diperbarui bisa dikurangi. Masyarakat Indonesia diharapkan bisa beralih kepada energi baru dan terbarukan yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Penggunaan energi baru dan terbarukan terus didorong agar ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap energi fosil yang tidak dapat diperbarui bisa dikurangi. Masyarakat Indonesia diharapkan bisa beralih kepada energi baru dan terbarukan yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan.
Hal tersebut dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral periode 2000-2009 Purnomo Yusgiantoro dalam seminar nasional energi bertajuk ”Implementasi Rencana Umum Energi Daerah untuk Ketahanan Energi yang Berkelanjutan”, Selasa (9/7/2019), yang diadakan di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Pada periode 2030-2040 pemakaian energi fosil diprediksi masih sangat dominan. Hal itu membuat tingkat ketergantungan kita terhadap energi fosil makin tinggi. Jadi, penggunaan energi alternatif, seperti energi baru dan terbarukan (EBT), perlu segera dilakukan.
Purnomo mengatakan, demi keberlanjutan energi, masyarakat Indonesia harus pelan-pelan beralih dari sumber energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang tidak dapat diperbaharui. Indonesia dinilai perlu memaksimalkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air proses biologi, dan panas bumi, yang lebih berkelanjutan, bisa diperbarui, dan lebih ramah lingkungan.
”Pada periode 2030-2040, pemakaian energi fosil diprediksi masih sangat dominan. Hal itu membuat tingkat ketergantungan kita terhadap energi fosil makin tinggi. Jadi, penggunaan energi alternatif, seperti EBT, perlu segera dilakukan,” tutur Purnomo.
Adapun Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Saleh Abdurrahman mengatakan, pemerintah akan meningkatkan potensi dan kualitas data EBT untuk prioritas pembangunan. Tak hanya itu, alokasi lahan untuk pengembangan EBT juga akan segera dilakukan. Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) juga akan menjadi salah satu program prioritas untuk meningkatkan produksi energi dari tenaga surya.
”Pemerintah juga akan membangun PLTS untuk fasilitas transportasi, seperti di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Harapannya, listrik di fasilitas-fasilitas tersebut bisa disuplai dari PLTS. Tak hanya itu, pendirian industri hulu dan hilir PLTS juga akan difasilitasi untuk mencapai target bauran EBT,” tutur Saleh.
Saat ini, bauran EBT Indonesia baru sekitar 6,26 persen dari total keseluruhan bauran energi. Angka itu paling rendah jika dibandingkan dengan bauran minyak bumi sebesar 42,09 persen, batubara sebesar 30,33 persen, dan gas bumi sebesar 21,34 persen. Indonesia menargetkan bauran EBT Indonesia meningkat menjadi 23 persen pada 2025 dan mencapai angka 31 persen pada 2050.
Pemerintah juga akan membangun PLTS untuk fasilitas transportasi, seperti di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Harapannya, listrik di fasilitas-fasilitas tersebut bisa disuplai dari PLTS. Tak hanya itu, pendirian industri hulu dan hilir PLTS juga akan difasilitasi untuk mencapai target bauran EBT.
Tren global
Berdasarkan tren global kelistrikan, teknologi energi terbarukan tenaga angin dan surya semakin murah dan kompetitif. Kini, porsi bauran energi terbarukan semakin besar. Pada 2050 diperkiran sebesar 64 persen bauran energi pembangkit listrik global berasal dari energi terbarukan.
Berdasarkan estimasi IESR 2019, potensi listrik surya atap untuk bangunan rumah di 34 provinsi di Indonesia berkisar 194,1-655 gigawatt peak (gWp). Energi tenaga surya sebanyak ini harusnya bisa dioptimalkan untuk mendukung kemandirian energi.
Tahun lalu, sebesar 68 persen total investasi pembangkit energi terbarukan di dunia didominasi oleh pembangkit listrik tenaga surya dan angin, sisanya adalah hidro dan energi terbarukan lainnya. Hal ini positif bagi perkembangan energi terbarukan Indonesia karena Indonesia memiliki potensi yang besar pada energi tenaga surya.
Direktur Eksekutif Institute Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, potensi energi surya di Indonesia sangat besar dan dapat memenuhi kebutuhan listrik Indonesia. Potensi energi surya ini ditentukan oleh kekuatan radiasi sinar matahari luas atap yang tersedia serta populasi bangunan rumah tinggal.
”Berdasarkan estimasi IESR 2019, potensi listrik surya atap untuk bangunan rumah di 34 provinsi di Indonesia berkisar 194,1-655 gigawatt peak (gWp). Energi tenaga surya sebanyak ini harusnya bisa dioptimalkan untuk mendukung kemandirian energi,” ujar Fabby.
Fabby menambahkan, banyak yang memprediksi sebelum 2030, di sejumlah negara, harga listrik dari angin dan surya akan lebih murah dari harga pembangkit listrik batubara dan gas. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memberikan akses energi yang terjangkau, pasokan energi yang aman, dan energi yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.