Potensi E-Dagang Besar
JAKARTA, KOMPAS -- Pasar perdagangan secara elektronik atau e-dagang di Indonesia berpotensi terus berkembang. Potensi ini antara lain dipengaruhi jumlah penduduk Indonesia yang banyak dan pengguna internet yang terus bertambah.
Namun, potensi pasar itu belum digarap maksimal. Saat ini penyedia layanan e-dagang masih bekerja keras mendongkrak pengguna.
Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Polling Indonesia pada 9 Maret-14 April 2019 menunjukkan, dari 264,16 juta penduduk Indonesia, sekitar 64,8 persennya atau 171,17 juta orang di antaranya menggunakan internet. Berdasarkan hasil survei "Penetrasi Pengguna Internet 2018" itu, dalam setahun, pengguna internet naik 10,2 persen.
Survei dilakukan terhadap 5.900 orang melalui wawancara dengan bantuan kuesioner.
Kontribusi Jawa sebesar 55 persen dari total pengguna internet. Selebihnya Sumatera (21 persen), Kalimantan (9 persen), Sulawesi, Maluku, dan Papua (10 persen), serta Bali dan Nusa Tenggara (5 persen).
Country Brand Manager Shopee Indonesia Rezki Yanuar, di sela-sela buka puasa bersama media, Rabu (29/5/2019) malam, di Jakarta, menyampaikan, Shopee masih gencar mengedukasi masyarakat perihal e-dagang. Ia mencontohkan, edukasi antara lain berupa pengenalan potensi pasar serta tips dan trik berjualan.
Shopee Indonesia juga masih beriklan atau membentuk citra di media konvensional maupun secara tatap muka.
Menurut Rezki, Shopee Indonesia berkontribusi sekitar 40 persen terhadap total penjualan dan volume transaksi Shopee. Dengan angka itu, maka Shopee Indonesia merupakan kontributor terbesar bagi Shopee, dibandingkan di sejumlah negara lain.
"Penetrasi pengguna internet di Indonesia memang besar. Akan tetapi, kami mengamati, penetrasi mereka yang aktif berbelanja di platform e-dagang masih kecil. Dengan kata lain, pasar e-dagang Indonesia masih punya ruang pertumbuhan yang besar," ujar dia.
Direktur Shopee Indonesia Handhika Jahja menambahkan, saat ini pihaknya masih fokus mengejar penetrasi pengguna dan pertumbuhan transaksi. Strategi bisnis sampai akhir tahun ini masih berkutat pada kedua fokus itu.
Mereka yang aktif berbelanja di platform e-dagang masih kecil.
Pada triwulan I-2019, nilai transaksi penjualan Shopee di tujuh negara mencapai 3,5 miliar dollar AS dengan 200-an juta transaksi. Setiap orang rata-rata berbelanja 17 dollar AS di platform Sophee. Jumlah pengunduh aplikasi Shopee sudah lebih dari 80 juta orang.
Hasil survei APJII menunjukkan, sekitar 74,1 persen penduduk perkotaan sudah menggunakan internet, sedangkan di perdesaan sekitar 61,6 persen.
Belanja
Survei APJII juga menyoroti perilaku pengguna internet, khususnya terkait belanja dalam jaringan. Dalam satu bulan, 56 persen pengguna internet belum pernah berbelanja barang dan jasa secara daring.
Mereka beralasan, lebih suka belanja di gerai fisik karena barang langsung diperoleh. Alasan lain, belum bisa menggunakan aplikasi di telepon seluler pintar, khawatir barang tidak sampai, dan pembayaran yang dinilai rumit.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, Kamis (30/5), di Jakarta, berpendapat, layanan perdagangan barang secara daring dan luar jaringan saling melengkapi. Meskipun, pada saat bersamaan juga bersaing.
"Hal yang harus diingat adalah nilai bisnis ritel luring diperoleh dari ragam produk yang jauh lebih lengkap daripada daring. Penetrasi geografis layanan perdagangan secara luring juga lebih luas," ujar Ignatius.
Menurut dia, perbandingan antara perdagangan daring dan luring tidak setara. Lebih baik perbandingan dilakukan terhadap perkembangan bisnis ritel luring dan daring berdasarkan wilayah atau kategori barang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey, yang dihubungi secara terpisah menyampaikan pendapat senada. Menurut Roy, kategori produk yang diperjualbelikan di platform e-dagang biasanya bersifat impulsif. Artinya, barang-barang lebih banyak dibeli karena alasan impulsif, bukan karena alasan kebutuhan. Barang-barang itu, misalnya kosmetika, aksesoris mode, dan gawai. Akibatnya, nilai transaksi yang dibukukan kecil.
"Apalagi, masyarakat Indonesia cenderung lebih suka belanja langsung di gerai fisik," tambah Roy.
Roy menambahkan, berdasarkan data Global Retail Development Index 2017, nilai penjualan ritel Indonesia mencapai 350 miliar dollar AS. Angka ini di atas nilai penjualan ritel negara-negara ASEAN lain, seperti Filipina (137 miliar dollar AS) dan Thailand (119 miliar dollar AS).
Masyarakat Indonesia cenderung lebih suka belanja langsung di gerai fisik.
Mengutip data riset sejumlah lembaga, seperti AT Kearney dan McKinsey, Roy menyebutkan, persentase penjualan ritel daring terhadap total ritel nasional pada 2017 masih sekitar lima persen. Namun, pada 2018, dia memperkirakan persentase penjualan daring terhadap total penjualan ritel meningkat menjadi sekitar sembilan persen.
"Pertumbuhan besar terjadi karena penyedia layanan perdagangan luring yang berlomba-lomba membuka saluran e-dagang. Mayoritas anggota Aprindo sekarang telah melayani pembelian secara daring, meskipun nilai transaksinya masih kecil," ujar Roy. (MED)