Pengembang Surabaya Optimistis, Pembelian Rumah Tapak Segera Menggeliat
Pasar rumah tapak dan hunian vertikal di Kota Surabaya segera menggeliat lagi. Sejak April memasuki pemilu hingga usai Lebaran, bisnis properti agak sepi sebab pembeli memilih tak melakukan transaksi dalam hal pembelian rumah karena fokus mengikuti perkembangan situasi perpolitikan dalam negeri.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pasar rumah tapak dan hunian vertikal di Kota Surabaya segera menggeliat lagi. Sejak April memasuki pemilu hingga usai Lebaran, bisnis properti agak sepi sebab pembeli memilih tak melakukan transaksi dalam hal pembelian rumah karena fokus mengikuti perkembangan situasi perpolitikan dalam negeri.
Begitu pemilu usai dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilu yang digelar 17 April lalu, kata Associated Director PT Ciputra Surya Tbk Hendar Lauw, di kantor harian Kompas Surabaya, Kamis (16/5/2019), pasar properti pasti bergairah kembali.
Kehadiran seluruh pimpinan unit usaha di bawah PT Ciputra Surya ini untuk menyerahkan sarung yang akan diteruskan kepada seluruh loper harian Kompas di Jawa Timur.
Pemberian sumbangan sarung untuk loper harian Kompas dilakukan PT Ciputra Surya setiap Ramadhan tiba. ”Sarung-sarung mohon diberikan kepada para loper sebagai tanda cinta serta memupuk kerja sama yang baik antara Ciputra Surya dan harian Kompas,” ujar Hendra Lauw.
Pada kesempatan itu, General Manager Citra Harmoni, Hartono Winarko, mengatakan, ke depan, pengembang ini segera menggarap perumahan di wilayah perbatasan Surabaya-Gresik, yakni Kedamean, di atas lahan seluas 200 hektar.
Proyek lain masih di wilayah Surabaya barat dan segera direalisasikan Citraland Driyorejo CBD di atas lahan seluas 12 hektar. Rumah yang dibangun di Driyorejo harganya berkisar Rp 700 juta per unit. Harga rumah tapak di Surabaya memang semakin mahal. Harga rumah paling murah Rp 450 juta dengan ukuran tanah 4 meter x 10 meter (40 meter persegi).
Seperti diungkap Associated Director PT Ciputra Surya Tbk Andy Soegiardjo, pembeli properti di Surabaya pada kisaran harga Rp 1,5 miliar-Rp 3 miliar cukup banyak. Permintaan itu bukan sebatas untuk investasi, tetapi juga untuk dihuni.
”Pembelian rumah ini memanfaatkan skema KPR. Kami menggaet konsumen dengan promosi bunga murah atau subsidi sampai 3,5 persen per tahun,” katanya.
Pembelian rumah ini memanfaatkan skema KPR. Kami menggaet konsumen dengan promosi bunga murah atau subsidi sampai 3,5 persen per tahun.
Tahun ini, Ciputra menargetkan meraih pendapatan Rp 650 miliar dari Citraland Surabaya, Rp 250 miliar dari Citra Garden dan Citra Harmoni Sidoarjo, serta Rp 105 miliar dari The Taman Dayu Pasuruan. Kelompok Ciputra optimistis penjualan hunian di Surabaya atau Jatim umumnya masih tetap bagus.
Gergasi
Surabaya memang menjadi pertarungan para gergasi properti nasional. Keberadaan Ciputra, Mayapada, Intiland, Lippo, dan Pakuwon menjadi bukti sengitnya perebutan kue properti di ”Kota Pahlawan”, julukan Surabaya.
Ciputra dan Pakuwon bermain di semua lini: perumahan, apartemen, perkantoran, dan pusat belanja. Mayapada, Intiland, dan Lippo dengan gedung-gedung pencakar langit untuk apartemen, perkantoran, atau mal.
Pada 2005, di Surabaya masih bisa didapat rumah baru pada tanah seluas 72 m2 hingga 84 m2 bernilai maksimal Rp 250 juta. Namun, lewat sedasawarsa kemudian, rumah baru pada tanah seluas 60 m2 tembus Rp 1 miliar yang jika ada, jumlahnya terbatas dan cepat habis dibeli ibarat penganan gorengan.
Harga apartemen tipe studio (29 m2) sudah di atas Rp 600 juta per unit. Harga tanah sudah bikin sakit kepala. Di Gubeng, misalnya, tanah seluas 1.000 m2 lahan bekas bongkaran rumah ditawarkan senilai Rp 60 miliar atau Rp 60 juta per m2.
Menyingkir ke tepi, ternyata ”dikuasai” para raksasa. Di bagian barat ada Ciputra. Di sektor timur ada Pakuwon. Kompleks mereka megah, mewah, dan wah. Memang di sekitar perumahan mewah, laksana jamur, ada kompleks hunian biasa, tetapi harganya di kisaran Rp 600 juta-Rp 1 miliar, terasa menciutkan nyali.
Kaum ekonomi pas-pasan akhirnya menyingkir ke Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan akhir-akhir ini Bangkalan, dengan harga properti masih terjangkau dengan isi kocek.
Wakil Ketua Umum REI Adri Istambul menambahkan, pasar rumah tapak saat ini didominasi pasangan baru atau karyawan dengan masa kerja kurang dari tiga tahun.
Membeli rumah untuk investasi agaknya menunggu sampai tahun depan. Dengan harga rumah, misalnya, di Surabaya yang tinggi, kaum milenial yang lahir setelah tahun 1990 mungkin lebih cocok memilih hunian vertikal. Masih ada apartemen dengan harga Rp 15 juta per m2 meski lokasi tidak di jantung kota.
Selain itu, sejumlah pengembang di Surabaya menemukan trik khusus untuk membangun rumah tapak dengan harga terjangkau. Misalnya, memasarkan rumah 30 m2 pada tanah berstatus petok D di Kenjeran.
Pembelian tidak menggunakan skema KPR, tetapi in house atau mencicil ke pengembang dengan menggandeng koperasi. Harga rumah berkisar Rp 250 juta dan dipandang terjangkau untuk konsumen berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan.
Magnet kota
Saat ini rumah bekas saja di Surabaya timur seperti di Perumahan Wisma Gunung Anyar, dengan luas tanah 120 meter persegi, ditawarkan dengan harga Rp 1,2 miliar.
Harga tanah di Kecamatan Gunung Anyar sudah mencapai Rp 3 juta per meter. Bahkan, harga tanah kian mahal di wilayah yang berada di sepanjang MERR atau Jalan Ir Soekarno. MERR dari Gunung Anyar hingga Kenjeran sepanjang 11, 8 kilometer kini menjadi magnet bagi pemilik modal.
Harga tanah sepanjang MERR kini menyentuh Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per meter. Artinya, harga rumah dan apartemen semakin sulit untuk dijangkau pasangan baru. Salah satu solusi barangkali bisa membeli rumah di luar Kota Surabaya, seperti Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, atau bahkan Pasuruan.