Defisit Sentuh Titik Terdalam, Ketahanan Domestik Mesti Diperkuat
Dalam enam tahun terakhir, Indonesia menyentuh titik defisit terdalam dalam neraca perdagangan nasional secara bulanan akibat tekanan global. Oleh sebab itu, pertahanan struktur ekonomi nasional perlu diperkuat.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam enam tahun terakhir, Indonesia menyentuh titik defisit terdalam dalam neraca perdagangan nasional secara bulanan akibat tekanan global. Oleh sebab itu, pertahanan struktur ekonomi nasional perlu diperkuat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pada April 2019 mencatatkan defisit sebesar 2,5 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 36,1 triliun berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia yang sebesar Rp 14.448 per dollar AS. Angka ini merupakan defisit terdalam sejak Januari 2013.
Secara tahun berjalan, neraca perdagangan pada Januari-April 2019 mencatatkan defisit terdalam sejak 2014 pada periode yang sama. Nilainya sebesar 2,56 miliar dollar AS.
Neraca perdagangan pada April 2019 terbentuk oleh nilai ekspor yang turun 13,1 persen secara tahunan menjadi 12,6 miliar dollar AS. Adapun nilai impornya turun 6,58 persen menjadi 15,1 miliar dollar AS.
Angka neraca perdagangan sepanjang Januari-April 2019 terbentuk oleh defisit minyak dan gas (migas) sebesar 2,76 miliar dollar AS yang turun 29,04 persen dari defisit sebesar 3,89 miliar dollar AS pada 2018. Sementara itu, surplus nonmigas hanya mencapai 204,7 juta dollar AS atau anjlok sebanyak 91,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, neraca perdagangan sepanjang 2019 tertekan kondisi perekonomian global yang cenderung melambat akibat perang dagang. ”Pelambatan ekonomi global berdampak pada nilai ekspor Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Berdasarkan data yang dihimpun, Suhariyanto menuturkan, perekonomian sejumlah negara tujuan ekspor Indonesia melambat. Contohnya, pada triwulan I-2019, pertumbuhan perekonomian China melambat 0,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya, Singapura melambat 3,4 persen, dan Korea Selatan melambat 1 persen.
Menurut dia, Salah satu cara mengantisipasi dampak perang dagang terhadap neraca perdagangan yang paling efektif ialah pengendalian impor. Substitusi barang-barang yang diimpor mesti menjadi prioritas.
Dari sisi sektor nonmigas, ekspor industri pengolahan turun 7,83 persen secara tahunan sepanjang Januari-April 2019. Ekspor nonmigas berbasis komoditas, seperti sektor pertanian, turun 3,29 persen dan sektor pertambangan turun 12,26 persen.
Oleh sebab itu, Suhariyanto berpendapat, industri pengolahan dalam negeri perlu pembenahan. ”Perkuat insentif bagi industri agar produk ekspor Indonesia lebih berdaya saing di pasar global,” katanya.
Menurut ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, anjloknya ekspor Indonesia merupakan salah satu fenomena global. ”Hal ini menunjukkan, Indonesia belum kebal terhadap tekanan global. Akan tetapi, secara fundamental, Indonesia memiliki potensi untuk bertahan,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Mengutip dari data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Satria memaparkan, indeks penurunan volume perdagangan global sepanjang triwulan-I 2019 menyentuh angka terendah dalam 10 tahun terakhir. Oleh sebab itu, volume ekspor secara global menurun.
Perang dagang yang masih memanas saat ini, menurut Satria, patut diwaspadai karena akan membawa Indonesia pada kondisi normal ekspor Indonesia yang baru. Sebelum perang dagang, rata-rata nilai ekspor bulanan Indonesia yang tergolong normal berkisar 13,5 miliar dollar AS-14 miliar dollar AS. Angka normal ini akan menurun menjadi 12 miliar dollar AS-13 miliar dollar AS.
Sebagai solusi jangka pendek, Satria berpendapat, diversifikasi pasar ekspor mendesak dilakukan. ”Pemerintah mesti mengidentifikasi negara-negara tujuan ekspor nontradisional yang masih mencatatkan surplus pada neraca perdagangan dengan Indonesia, misalnya negara-negara di Afrika,” ujarnya.
Secara teknis, Satria mengatakan, perlu ada sinergi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Luar Negeri dalam mendorong dan membuka akses di negara-negara tujuan ekspor tersebut. Secara diplomasi, duta besar-duta besar Indonesia di negara sasaran dapat mempromosikan produk ekspor nasional agar diimpor dalam skala industri.
Dari segi jaringan bisnis, perusahaan eksportir perlu digandeng pemerintah untuk membuka relasi bisnis dan perdagangan di negara sasaran.