Sekitar 200 buruh yang tergabung dalam Pusat Perjuangan Rakyat Lampung menggelar unjuk rasa di Bandar Lampung, Lampung, Rabu (1/5/2019). Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei menjadi momentum bagi mereka untuk menuntut kesejahteraan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·2 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Sekitar 200 buruh yang tergabung dalam Pusat Perjuangan Rakyat Lampung menggelar unjuk rasa di Bandar Lampung, Lampung, Rabu (1/5/2019). Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei menjadi momentum bagi mereka untuk menuntut kesejahteraan.
Aksi tersebut diikuti sejumlah organisasi buruh di Lampung. Para buruh berkumpul di sekitar Tugu Adipura, yang merupakan pusat keramaian di Kota Bandar Lampung. Mereka membawa spanduk berisi tuntutan kepada pemerintah. Selain itu, buruh juga menggelar aksi orasi di depan umum. Unjuk rasa yang berlangsung selama 3 jam itu dijaga puluhan aparat kepolisian.
Gunadi, selaku juru bicara buruh, mengatakan, unjuk rasa pada Hari Buruh Internasional digelar untuk mengingatkan pemerintah bahwa masih banyak buruh yang belum sejahtera. Selain permasalahan upah murah, jaminan bagi masa depan buruh juga tidak pasti. Sistem kerja kontrak membuat buruh tidak mendapat jaminan pensiun.
”Permasalahan buruh tetap sama setiap tahun, yakni permasalahan upah murah, sistem kerja kontrak, dan PHK sepihak. Kami menggelar aksi unjuk rasa setiap tahun karena belum ada tuntutan yang dikabulkan,” kata Gunadi.
Menurut dia, buruh tidak akan lupa untuk memperjuangkan hak-haknya hingga tuntutan mereka dikabulkan. Karena itulah, setiap tahun, buruh di Lampung berkumpul dan menggelar unjuk rasa.
Permasalahan buruh tetap sama setiap tahun, yakni permasalahan upah murah, sistem kerja kontrak, dan PHK sepihak. Kami menggelar aksi unjuk rasa setiap tahun karena belum ada tuntutan yang dikabulkan.
Koordinator Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Badri menilai pemerintah belum mampu menyejahterakan kaum buruh di Indonesia. Setiap tahun, daya beli dan perekonomian keluarga buruh justru merosot akibat kenaikan harga bahan pokok, harga bahan bakar minyak, dan biaya pendidikan.
Buruh tak bisa menabung
Kenaikan upah buruh tidak sebanding dengan tingginya biaya hidup. Akibatnya, keluarga buruh tidak bisa menabung untuk membeli rumah dan biaya masa depan keluarganya. Apalagi, harga rumah melonjak jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan gaji buruh setiap tahun.
Dalam unjuk rasa tersebut, setidaknya ada 13 tuntutan buruh yang disampaikan. Tuntutan itu, di antaranya, pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan dan menghapus sistem kerja kontrak, magang, dan sistem kerja sukarela. Perempuan buruh juga menuntut adanya pemberian cuti haid dan melahirkan serta penyediaan ruang laktasi.
Selain itu, buruh juga meminta pemerintah mencabut kebijakan sistem uang kuliah tunggal. Mereka menilai, penerapan sistem pembayaran UKT membuat biaya kuliah membengkak dan menyulitkan kaum buruh. Anak-anak kaum buruh sulit melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi karena biaya kuliah terlalu mahal.