Pemakaian Perangkat Lunak Bajakan di Indonesia Capai 83 Persen
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, porsi pemakaian perangkat lunak bisnis bajakan di Indonesia hanya turun 5 persen. Pada 2003, porsi penggunaannya mencapai 88 persen, sementara pada 2018 porsinya masih 83 persen. Kurangnya edukasi sejak usaha muda serta lemahnya penegakan hukum dinilai jadi pemicunya.
Direktur Senior Aliansi Perangkat Lunak (BSA) untuk Asia Pasifik Tarun Sawney di Jakarta, Senin (18/3/2019), menyampaikan temuan tersebut. Kondisi itu dinilai ironis sebab model jual beli perangkat lunak bisnis telah berubah.
Pada tahun lalu, perusahaan perangkat lunak marak menawarkan konsep beli berbasis berlangganan dengan durasi waktu tertentu kepada konsumen korporasi. Konsep itu berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni konsumen harus membayar lisensi perangkat lunak di muka.
”Kenyataannya, perubahan konsep (jual beli) tidak berdampak signifikan terhadap aktivitas memanfaatkan perangkat lunak bajakan,” ujar Tarun.
Setiap dua tahun sekali, BSA menggelar survei penggunaan perangkat lunak bisnis, baik legal maupun ilegal, terhadap perusahaan teknologi anggota BSA dan konsumen. Namanya, BSA’s Global Software Survey. Untuk survei tahun 2018, BSA bekerja sama dengan International Data Corporation, firma intelijen pasar.
BSA beranggotakan sejumlah perusahaan teknologi penyedia perangkat lunak. Sebagai contoh, Microsoft, Apple, Adobe, dan Cisco. ”Lebih ironisnya, berdasarkan temuan survei kami, kebanyakan perangkat lunak yang dibajak dan dipakai masif justru berupa sistem operasi,” katanya.
Tarun berpendapat, kebiasaan suka menggunakan perangkat lunak bajakan di Indonesia bisa disebabkan faktor kurangnya edukasi sejak usia muda. Faktor lainnya, kasus pembajakan kurang ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.
Menurut Tarun, pengguna perangkat lunak bisnis bajakan tidak melulu berlatar belakang konsumen perusahaan. Ada pula kelompok kelas pekerja, seperti pekerja lepas, turut memanfaatkan.
Potensi pendapatan perusahaan perangkat lunak dari pasar Indonesia bisa mencapai lebih dari 1.000 juta dollar AS.
Dari sisi perusahaan penyedia perangkat lunak, pembajakan merugikan bisnis mereka. Sebagai gambaran, secara khusus pasar Indonesia potensi pendapatan yang seharusnya diterima penyedia bisa mencapai di atas 1.000 juta dollar AS.
Sementara dari sisi pengguna, penggunaan perangkat lunak bajakan berpotensi meningkatkan bahaya terkena kejahatan siber. Contohnya, serangan perangkat lunak peretas atau malware.
Kepala Seksi Pencegahan Direktorat Penyidikan Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Anang Pratama mengemukakan pentingnya sinergi swasta, pemerintah, dan akademisi. Sinergi diwujudkan dalam kegiatan edukasi sampai ke pengguna perseorangan.
”Cara itu ampuh mereduksi pelanggaran hak kekayaan intelektual perangkat lunak bisnis,” kata Anang.