Berhenti dari pekerjaan dengan status karyawan tetap dengan posisi terakhir sebagai manajer adalah pilihan berani. Namun pilihan penuh risiko yang dilakukan Supriadi (35) justru membuat hidupnya kian berarti. Lewat usaha coklat yang dibangunnya, dia bebas berkreasi dan berbagi.
Setahun sebelum berhenti dari pekerjaan di perbankan, Supriadi telah mempersiapkan rencana lain. Dia melakukan survei tentang peluang pasar coklat batangan di Aceh. Dia juga turun ke lima kabupaten di Aceh untuk bertemu dengan petani coklat. Dia mengambil kesimpulan, pasar coklat batangan sangat menjanjikan.
Akhir 2014 usaha coklat pun dimulai. Meski tidak ada pengamalam berbisnis sebelumnya, Supriadi yakin menjalankan usaha sendiri lebih baik daripada selamanya menjadi pekerja.
“Delapan tahun saya jadi karyawan, bosan juga rasanya. Kenapa pilihannya coklat? Karena saya hobi makan coklat. Usaha harus dimulai dari hobi,” katanya saat ditemui Rabu (9/1/2019) di kedai coklat, di Jalan Iskandar Lambhuk, Banda Aceh.
Dia memberi nama usahanya Cilet Coklat. Cilet adalah Bahasa Aceh yang artinya jilat atau mencicipi. Dia ingin orang lain mencicipi nikmatnya rasa coklat dari Aceh. Pemberian nama dengan bahasa lokal, kata Supriadi, bagian dari pencitraan produk Aceh ke luar.
Supriadi komitmen menggunakan bahan coklat dari Aceh. Dia membeli biji coklat terbaik dari para petani di lima kabupaten dan mengolahnya menjadi coklat batangan. Pengolahan dari biji ke bubuk dipercayakan kepada mitra. “Saya bermain di hilir saja, namun saya tetap pastikan bahan baku dari Aceh,” ujar sarjana akuntansi lulusan Universitas Muhammadiyah Aceh ini.
Untuk menambah keunikan, coklat batangan diproduksi dalam beberapa rasa, seperti coklat rasa kopi arabika, oreo, kismis, dan coklat susu. Namun, karena sasaran pasar adalah anak muda usia 16 tahun hingga 32 tahun Cilet Coklat dominan dengan rasa manis.
Ternyata, kehadiran Cilet Coklat diterima baik oleh pasar. Produksi pun terus bertambah. Pada 2015 jumlah produksi 6.000 batang, naik menjadi 12.000 batang pada 2017. Pada 2018 produksi bertambah menjadi 36.000 batang.
Cilet Coklat dijual dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 20.000 per batang. “Cilet Coklat sering jadi pilihan hadiah ulang tahun, wisuda, dan cemilan pesta komunitas,” kata Supriadi.
Meskipun coklat pabrikan membanjiri pasar lokal, Supriadi tidak melihat itu sebagai saingan. Sebab, selera lidah konsumen berbeda-beda. Buktinya Cilet Coklat diterima oleh pasar.
Tahun lalu, Cilet Coklat ikut pameran coklat di Jakarta. Puluhan merek coklat dipamerkan, hanya dalam dua hari 600 batang Cilet Coklat habis terjual.
Selipkan nilai
Lalu apa yang membedakan Cilet Coklat dengan yang lain. Supriadi menyelipkan nilai pendidikan pada kemasan produknya. Dia menempatkan gambar pahlawan nasional dari Aceh pada pembungkus coklat, seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, dan Laksamana Malahayati. Selain gambar dilengkapi juga dengan biodata singkat.
Sebagian lagi dikemas dengan tema wisata tsunami dan tarian Aceh. Meski terkesan sederhana, itu menjadi nilai pendidikan bagi generasi muda. Tampilan tematis menjadi daya tarik pembeli.
Ide kreatif itu semuanya lahir dari kepala sendiri. "Itulah kelebihan jadi pengusaha, bebas berkreatifitas tanpa batas," kata Supriadi. Untuk membantunya, ia mempekerjakan lima orang.
Sejauh ini Cilet Coklat masih dijual di Banda Aceh dan sebagian kecil ke kabupaten/kota di Aceh. Produksi akan ditingkatkan secara bertahap. Namun, Supriadi yakin, suatu saat Cilet Coklat akan menjangkau semua daerah di Aceh.
Bangun rumah
Akan tetapi berbisnis tidak melulu soal keuntungan semata. Berbagi berkah menjadi misi mulia yang dilakukan Supriadi. Sebagian keuntungan dari penjualan coklat disumbangkan untuk membangun rumah bagi keluarga miskin. Dia memberi nama gerakan “Rumah dari Coklat”.
Setiap pembelian coklat batangan Rp 20.000, sebesar Rp 5.000 disumbangkan untuk pembangunan rumah. Pada tahun 2018, sebuah rumah tipe 45 dihibahkan kepada satu keluarga miskin di Kabupaten Pidie.
Program 5.000 coklat untuk Gaza dan Suriah juga masih berlangsung. Coklat yang dijual untuk misi kemanusiaan pada kemasannya dituliskan keterangan khusus. Misalnya, “5000 Coklat untuk Gaza dan Suriah” dan “Rumah dari Coklat”.
Pada 2019, program rumah dari coklat kembali dia luncurkan. Kini, 100 persen dari penjualan 2.500 batang coklat sekitar Rp 50 juta disumbangkan untuk pembangunan rumah keluarga miskin. Calon penerima diseleksi oleh para relawan. Supriadi tidak takut keuntungan berkurang, sebab baginya bisnis harus sejalan dengan sosial. “Keuntungan masih ada dari yang lain,” ujarnya.
Empat tahun berjalan, Cilet Coklat mendapatkan beberapa penghargaan, yakni Satu Desa Satu Produk Award dari Pemko Banda Aceh (2016), penghargaan UKM terbaik dari Kementerian Pariwisata (2017), dan penghargaan UKM Naik Kelas dari Dinas Koperasi dan UKM Banda Aceh (2018).
Supriadi mengaku banyak mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan Bank Indonesia Aceh dengan sering dilibatkan dalam pameran UKM.