JAKARTA, KOMPAS – Keterbatasan cadangan energi nasional seperti batubara, minyak bumi, dan gas menjadi salah satu permasalahan sektor energi di Indonesia. Pasalnya, penggunaan minyak bumi masih mendominasi dengan persentase sebesar 42 persen, padahal target di tahun 2025 bisa diturunkan menjadi 25 persen saja.
Untuk menurunkan penggunaan minyak bumi tersebut, pemerintah akan lebih memanfaatkan energi baru dan terbarukan dengan persentase 23 persen di tahun 2025. Namun, saat ini baru di angka delapan persen.
“Penyebab utamanya ada dua, ketidakoptimalan pemanfaatan energi baru dan terbarukan juga ketidakkompetitifan harganya,” ujar Ketua Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Filda Yusgiantoro dalam acara rutin Knowledge Sharing Series di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Untuk itu, upaya yang dapat dilakukan menurut hasil kajian PYC, antara lain pemberian kuota energi baru dan terbarukan, sistem pemakaian jaringan bersama (power wheeling) bagi industri yang lokasinya jauh dari sumber energi terbarukan, dan penambahan pemanfaatan energi terbarukan dalam key performance index (KPI).
Selain itu, juga diperlukan pemberian insentif untuk industri pengguna energi baru dan terbarukan. Insentif yang diberikan dapat berupa insentif ekonomi (fiscal atau non-fiskal) maupun nonekonomi (regulasi atau permudahan perizinan).
Sementara itu, Pendiri Reforminet Institute Pri Agung Rahmanto menjelaskan Rancangan Undang Undang Minyak dan Gas (RUU Migas) harus segera diselesaikan. RUU yang diserahkan ke Komisi VII DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, belum jelas kapan akan dibahas.