Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Pacu Industri Manufaktur
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pertumbuhan sektor manufaktur yang pesat menjadi prasyarat agar Indonesia dapat segera menjadi negara maju. Karena itu, perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia harus didorong kapasitasnya.
Sektor manufaktur Indonesia saat ini masih mengekspor produk dengan variasi yang relatif sedikit ataupun barang manufaktur sederhana. Ekspor terbesar Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah (SDA yang belum diproses) .
Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia memerlukan diversifikasi ekonomi dan pertumbuhan sektor manufaktur yang lebih cepat jika bertekad menjadi negara berpendapatan tinggi dalam waktu 15 tahun ke depan.
Hasil studi dari Bappenas dan Asian Development Bank (ADB) menunjukkan struktur perekonomian yang masih berbasis komoditas, manufaktur dan jasa berteknologi rendah akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi.
“Pemerintah dapat berperan penting dalam revitalisasi sektor manufaktur melalui kerjasama dan koordinasi dengan sektor swasta agar bisa mengidentifikasi dan mengatasi hambatan dalam pembangunan manufaktor modern,” ujar Bambang dalam acara Peluncuran Buku “Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan Sektor Manufaktur di Indonesia 2020-2024” di Kantor Bappenas, Jumat (8/2/2019).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, mendiversifikasikan dan meningkatkan sektor ekonomi Indonesia sangat penting agar Indonesia dapat meraih tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan menjadi perekonomian berpenghasilan menengah atas. Untuk masuk pada Global Value Change (GVC), manufaktur di Indonesia harus didorong lebih kuat seperti mengarah ke produk yang punya nilai tambah lebih tinggi (downstreaming).
Bambang mencontohkan, dalam memproduksi gawai, tidak perlu menguasai pembuatan semua komponennya hingga menjadi produk secara utuh. Dalam konteks persaingan global hal tersebut tidak mungkin karena banyak pesaing dan kemungkinan bisa kalah di banyak hal.
“Harus fokus pada pembuatan salah satu komponen, lalu diperkuat dengan nilai tambah yang tinggi dan kompetitif di pasaran,” jelas dia.
Kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus menurun. Angka tersebut relatif lebih rendah di antara negara-negara sebaya, seperti China, Republik Korea, Malaysia, dan Thailand.
Hasil studi dari ADB dan Bappenas memberikan beberapa rekomendasi yang bisa menjadi landasan para pengambil kebijakan Indonesia, antara lain Balance of Payment Constraints Growth (BOPC) selama 2020-2024, mendorong terciptanya perusahaan yang lebih besar, keanekaragaman produksi dan tingkatkan di Global Value Chains (GVC), dan beberapa lainnya, termasuk memikirkan kembali kebijakan fiskal dan moneter.
Secara garis besar, Bambang menekankan bahwa saat ini fokusnya ingin meningkatkan produktivitas tenaga kerja. “Peningkatan produktivitas tersebut yang nantinya akan disertai dengan revolusi industri 4.0,” tambah dia.
Adapun, Direktur Jenderal Departemen Asia Tenggara ADB Ramesh Subramaniam juga mengatakan, pemerintah Indonesia harus mempunyai kebijakan yang mendukung industri manufaktur dalam negeri. Salah satu caranya memberikan insentif bagi pelaku dalam negeri.
“Apabila pemerintah Indonesia memberikan insentif kepada para pelaku industri manufaktur dalam negeri, kemungkinan besar produktivitas industri Indonesia meningkat,” kata Ramesh.