JAKARTA, KOMPAS--Kewirausahaan sosial belum sepenuhnya memperoleh pengakuan negara. Permasalahan utama ini menghambat mereka untuk tumbuh dan berkembang.
Kewirausahaan sosial merujuk pada kewirausahaan yang dilakukan dengan misi sosial atau lingkungan. Pelaku usaha menginvestasikan kembali keuntungan dalam porsi yang signifikan untuk pengembangan misi itu.
Senior Program Manager tim Society and Education British Council, Ari Sutanti, Senin (24/12/2018), di Jakarta, mencontohkan kesulitan wirausaha sosial mengakses pinjaman bank. Wrausaha sosial mesti menjelaskan model bisnis secara panjang lebar dan komprehensif.
British Council bersama Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik (ESCAP) meluncurkan hasil penelitian ”Membangun Ekonomi yang Kreatif dan Inklusif: Profil Usaha Sosial di Indonesia” pada 17 Desember 2018. Penelitian ini menggunakan metode survei kuantitatif terhadap 495 responden wirausaha sosial dari 27 provinsi di Indonesia. Hasilnya dilengkapi wawancara mendalam kepada lebih dari 2.000 organisasi pendukung ekosistem kewirausahaan sosial, antara lain lembaga pemerintah, pendidikan tinggi, dan pemodal.
Tantangan
Mengutip hasil penelitian itu, Ari menjelaskan, banyak wirausaha sosial yang terus-menerus menghadapi tantangan keuangan. Untuk tahap awal, investor kerap tidak tertarik berinvestasi.
Dalam satu hingga dua tahun, wirausaha sosial menghadapi tantangan membuat perencanaan bisnis dan jaringan. Pada tahun ketiga, wirausaha terkendala manajemen waktu dan upaya mendidik masyarakat. Pada tahun keempat, tantangan bertambah, berupa konsistensi berbisnis dan dampak sosial yang dihasilkan. Adapun pada tahun kelima, muncul tantangan baru, yaitu kompetisi.
Sebanyak 361 responden mengaku memperoleh pendapatan tahunan 26,8 juta dollar AS (Rp 388 miliar), sedangkan secara rata-rata pendapatan tahunan per bisnis 57,467 dollar AS.
Dengan demikian, kontribusinya terhadap PDB sekitar 19,6 miliar dollar AS atau 1,9 persen.
"Pengakuan dan dukungan pemerintah dapat berupa kebijakan atau peraturan," ujar dia.
Laporan itu memaparkan sejumlah wiruasaha sosial, yakni Amartha, Sukkha Citta, dan HeyStartic.
Head of Finance and Accounting PT Amartha Mikro Fintek, Ramdhan, menyampaikan, sejak didirikan 8 tahun lalu, bisnis Amartha dilandasi nilai sosial. Wujudnya, antara lain, pinjaman didistribusikan kepada perempuan pengusaha mikro.
Sementara, tim kemitraan di Sukkha Citta, Bertram Flesch, menceritakan, aktivitas pemberdayaan dan pelatihan menyangkut rantai produk kain. Seluruh aktivitas dikerjakan menggunakan tangan. Sukkha Citta mendukung lebih dari 50 artisan atau pengrajin, yang sebagian besar perempuan, di beberapa desa di Jawa. (MED)