JAKARTA, KOMPAS – Perusahaan yang bergerak di bidang farmasi PT Phapros Tbk menjadi emiten terakhir yang membuka penawaran saham perdana atau IPO di lantai Bursa Efek Indonesia tahun ini. Capaian jumlah 57 emiten baru yang tahun ini IPO menjadi catatan rekor baru pasar modal Indonesia.
Direktur Utama Phapros Barokah Sri Utami mengungkap selama ini saham perusahaan Phapros sudah kerap diperjualbelikan, namun secara konservatif dan tidak terbuka. Akibatnya harga saham tidak memiliki standar yang jelas. Perusahaan pun tidak mendapatkan cukup dana untuk berekspansi.
“Phapros saat ini memaksimalkan posisinya sebagai perusahaan terbuka untuk membuka akses kepada sumber pendanaan pasar modal agar lebih menguntungkan,” kata Barokah di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (26/12/2018).
Perusahaan farmasi yang memproduksi merek Antimo ini merupakan anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Kepemilikan saham BUMN Rajawali Nusantara di Phapros telah mencapai 56,7 persen. Adapun sisanya dimiliki oleh investor retail.
Phapros menerbitkan 840 juta lembar saham dengan harga Rp 1.198 per lembar. Meski telah mencatatkan saham di BEI, Phapros belum menerbitkan obligasi. Hal ini, karena banyak ingin pemegang saham merupakan pemegang saham lama yang belum banyak mengenal pasar saham. Akibatnya saham dengan kode PEHA saat ini masih akan berada di papan pengembangan.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan per September 2018, kinerja Phapros mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan perolehan pendapatan sebesar Rp 697 miliar atau meningkat 8,8 persen dibanding pendapatan periode yang sama pada tahun lalu.
“Tetapi di periode yang sama, laba bersih mengalami pertumbuhan yang jauh lebih tinggi mencapai 33,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,” ujar Barokah.
Untuk menjaga likuiditas pasar modal di tengah pertumbuhan minat perusahaan melakukan IPO, Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi mengatakan stabilitas pertumbuhan investor akan terus dijaga. Empat bulan terakhir, dia mengklaim pertumbuhan investor mencapai 10 ribu single investor identification (SID) per bulan.
Hasan mengatakan secara rasio, pertumbuhan investor milenial dan karyawan/pegawai yang mengalami pertumbuhan signifikan. Pertumbuhan ini selama beberapa tahun terakhir didorong oleh program kampanye \'Yuk Nabung Saham\' diluncurkan BEI pada 12 November 2015 silam.
“Penambahan jumlah investor baru saham di BEI ini merupakan yang tertinggi sejak 38 tahun diresmikannya kembali Pasar Modal Indonesia,” ujarnya.
Hasan memproyeksikan jumlah investor saham hingga akhir tahun bakal mencapai 225 ribu hingga 230 ribu SID. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan target awal tahun BEI yang sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan jumlah investor 2018 mampu mencapai 130 ribu SID.
Realisasi per Rabu 19 Desember 2018 baru berkisar 222 ribu investor. Dengan pertumbuhan investor mencapai 10 ribu SID per bulan atau 2.500 SID per pekan, jumlah realistis yang mungkin bisa dicapai tahun ini adalah 225 ribu SDI.
“Tahun depan kita belum ada target, Januari 2019 baru kita rumuskan. Tapi mudah mudahan tahun depan bisa tumbuh 250 ribu,” jelasnya.