JAKARTA, KOMPAS-- Pemerataan akses internet tetap disorot dalam ukuran pencapaian pembangunan teknologi informasi komunikasi. Hingga kini, kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau masih tetap menjadi isu yang dibahas.
Akses dan infrastruktur yang belum merata menjadi kunci, sejauh mana keberhasilan pembangunan teknologi informasi komunikasi.
Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia 2017 sebesar 4,99. Besaran indeks yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) ini naik dibandingkan 2016 (4,34) dan 2015 (3,88).
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, IP-TIK disusun berdasarkan 11 indikator yang dikelompokkan menjadi tiga sub indeks, yaitu akses dan infrastruktur, penggunaan, serta keahlian. Pada IP-TIK 2017, nilai sub dindeks paling tinggi adalah keahlian (5,75), disusul akses dan infrastruktur (5,16), serta penggunaan (4,44).
"Skala indeks dimulai dari angka 0 sampai 10. Semakin besar angka, semakin bagus. Skor IP-TIK Indonesia pada 2017 itu bisa dikatakan rendah meskipun naik dari tahun 2015 (3,88) dan 2016 (4,34)," ujar Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (17/12/2018).
Provinsi dengan IP-TIK tertinggi pada 2017 adalah DKI Jakarta, yakni 7,61. Sementara, IP-TIK terendah di Papua dengan nilai 2,95.
"Disparitas pembangunan antarprovinsi turut menjadi tantangan," katanya.
BPS menghitung IP-TIK berdasarkan buku Measuring Information Society yang dipublikasikan Uni Telekomunikasi Internasional (ITU), badan khusus PBB untuk regulasi telekomunikasi. Berdasarkan versi ITU, IP-TIK Indonesia 2017 ada di urutan 111 di dunia, dengan nilai 4,33. Pencapaian ini naik tipis dari 2016, yakni di peringkat 114 dengan nilai 3,85.
Efektivitas program
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono yang dihubungi terpisah, berpendapat, IP-TIK perlu dirilis setiap tahun untuk mengetahui efektivitas program kerja pemerintah dan industri dalam membangun ekosistem TIK. Meski demikian, pengukuran variabel atau sub indeks IP-TIK perlu selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman.
"Saat ini dan kecenderungan mendatang, warga menggunakan layanan berbasis data seluler dan mengkonsumsi bandwidth besar. Kami menilai, infrastruktur pita lebar menjadi ukuran yang lebih penting. Dengan demikian, lebih relevan negara mengukur Broadband Development Index (BDI), perkalian antara penetrasi pita lebar dengan konsumsi bandwidth per kapita," katanya.
Angka BDI mencerminkan tingkat aksesibilitas dan kemampuan mengakses pita lebar di suatu negara.
Kristiono menekankan, inklusi dan manfaat ekonomi digital yang ditimbulkan dari mengakses pita lebar merupakan hal penting.
Oleh karena itu, selain BDI, model survei yang harus diterapkan adalah Indeks Inklusif Digital. Variabelnya, yang mencakup aksesibilitas, kemampuan konsumsi, keahlian dan kesadaran, konten lokal, serta keamanan siber.
Manfaat ekonomi
Mastel bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet telah menerbitkan laporan Indeks Inklusif Digital Indonesia pada 2017. Indeks Inklusif Digital Indonesia 2017 sebesar 50,72.
Variabel konektivitas mendapat nilai paling besar dibandingkan dengan variabel lain.
Sekretaris Jenderal ITU Houlin Zhao mengatakan, akhir tahun 2018 merupakan tonggak sejarah penggunaan internet. Lebih dari setengah populasi global memakai internet.
"Namun, masih banyak orang di seluruh dunia menunggu untuk menuai manfaat ekonomi digital," kata Zhao. (MED)