Merayakan Renaisans Kreativitas Lokal
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang begitu deras, kebanggaan terhadap kreativitas lokal tak disangka malah mengalami kebangkitan kembali bak renaisans. Alih-alih menumbangkan kreasi lokal, konektivitas global justru memberikan jalan kepada anak-anak muda kreatif negeri untuk terus berkembang.
Kebangkitan ini jelas dirasakan oleh Ernani Ibrahim (25), mahasiswa pascasarjana asal Makassar, Sulawesi Selatan, pendiri brand pakaian Maskerade. Dengan bahan dasar kain tenun Toraja, Nana, panggilan akrab Ernani, menciptakan berbagai produk busana dari blazer, tas pinggang, hingga ikat kepala.
Butik daring Maskerade di situs media sosial Instagram, @maskerade.id, memiliki lebih dari 13 ribu pengikut. Peminat yang besar ini pun berkorelasi dengan tingginya penjualan ketika Maskerade mengikuti festival industri kreatif Makerfest Makassar 2018 pada Oktober lalu.
“Selama dua hari, terjual 680 potong. Peminatnya sungguh besar sekali,” kata Nana, saat ditemui di ajang Makerfest Big Bang 2018 Jakarta, Sabtu (15/12/2018) sore. Jumlah penjualan dalam dua hari tersebut telah melampaui kapasitas produksi Maskerade dalam sebulan yang mencapai 500 potong produk.
Saya ingin tenun Toraja semakin familiar di Indonesia, menjadi fashion bagi masyarakat luas, tidak eksklusif.
Nana merasa bahwa anak muda Indonesia sudah mulai tertarik dan bangga terhadap produk kebudayaan tradisional mereka. Kreasi tenun Toraja itu pun dijual dengan harga cukup terjangkau, seperti untuk ikat kepala yang dibanderol Rp 35.000 dan blazer perempuan seharga Rp 350.000.
“Saya ingin tenun Toraja semakin familiar di Indonesia, menjadi fashion bagi masyarakat luas, tidak eksklusif. Desain Maskerade pun saya terus sesuaikan dengan tren fashion kekinian,” kata Nana.
Maskerade hadir bersama 23 kreator lokal lainnya dalam ajang Makerfest Big Bang 2018 Jakarta yang digelar di Kompleks Gelora Bung Karno pada 15-16 Desember. Mereka adalah hasil saringan kompetisi inisiasi situs perdagangan daring Tokopedia, yang diikuti sekitar 1.500 usaha kreatif dari 8 kota di Indonesia.
Peserta Makerfest lainnya adalah The Able Art, sebuah kewirausahaan sosial (social-entrepreneurship) asal Surabaya, Jawa Timur. The Able Art menggunakan lukisan karya seniman penyandang disabilitas sebagai motif untuk berbagai produk yang dibuatnya, seperti tote bag, sarung bantal, kerudung, dan sarung laptop.
Tommy (39), salah satu pendiri The Able Art, mengatakan, pada awalnya ia merasa terpanggil untuk membantu para seniman penyandang disabilitas. Skema berbagi keuntungan (profit-sharing) pun diterapkan. Dari setiap produk yang terjual, 55 persen keuntungan untuk seniman dan 40 persen untuk The Able Art. Adapun 5 persen sisanya disisihkan untuk bahan dan alat lukis bagi anak muda penyandang disabilitas yang ingin belajar melukis.
Lewat situs web, laman e-commerce, dan akun sosial media, hasil kreasi The Able Art memiliki kanal pemasaran yang luas. The Able Art dapat dikunjungi di situs www.theableart.com maupun akun instagram @theableart dan @theableart.hijab serta di laman Tokopedianya. “Situs e-commerce seperti Tokopedia itu menyumbang sekitar 40 persen transaksi kami. Sisanya melalui situs media sosial seperti Instagram dan Facebook,” kata Tommy.
Brand Lead Tokopedia Siluh Made Sugandini mengatakan, keberadaan platform perdagangan digital seperti Tokopedia membuat akses usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap pasar menjadi terbuka lebar. “Sekarang, kalau ingin mendapatkan oleh-oleh khas suatu daerah, kan dapat langsung dibeli secara online, tidak harus datang ke kota itu,” kata Siluh.
Menurut dia, sudah menjadi tanggung jawab bagi platform perdagangan daring dalam negeri untuk turut mengawal pertumbuhan industri kreatif dalam negeri.
Sensitif tren
Kepekaan kreator terhadap tren yang tumbuh di masyarakat juga menjadi penting untuk dapat memberdayakan tradisi lokal. Nadia Rachel, pemilik Populo Batik, mengatakan, desain-desain kontemporer menjadi kekuatan utama brand busana yang berusia hampir seperempat abad itu.
“Sustainability Populo Batik itu berasal dari desain yang kontemporer sehingga batik tidak hanya identik dengan busana orang tua,” kata dia.
Selain itu, kain batik produksi Populo Batik juga ramah lingkungan, berkebalikan dengan stigma industri tekstil saat ini. Pewarnaan Populo Batik menggunakan bahan alami dari tumbuhan. Kreasi Populo Batik dijual dengan harga mulai Rp 1,5 juta hingga Rp 25 juta. Peminatnya pun banyak yang berasal dari mancanegara.
Memasukkan unsur kebaruan ke dalam budaya lokal juga diyakini Dade Akbar, pebisnis kuliner yang terkenal melalui akun Instagram Warteg Gourmet (@warteggourmet). Menurut dia, masyarakat akan selalu haus terhadap sesuatu yang baru.
“Jadi, perlu ada suatu hal yang baru yang dapat menarik kembali mereka kepada bentuk kreasi lokal,” kata Dade.
Dalam akun Instagramnya, Dade mengkreasikan makanan rumahan Indonesia ala warteg dengan gaya restoran hotel bintang lima. Gado-gado dan siomay Bandung pun ia dekonstruksi menjadi hidangan yang trendi. Warteg Gourmet kini berkembang menjadi layanan kuliner, konsultan restoran, hingga pembicara seminar.
Mercusuar budaya
Momentum peningkatan selera masyarakat terhadap kreasi dan konten dalam negeri ini dinilai harus dimanfaatkan untuk memperkuat keberadaan budaya Indonesia di kancah internasional.
Muhammad Khoirun Nassar, pendiri paguyuban seni Swara Gembira, mempercayai, kebanggaan atas kebudayaan lokal adalah langkah pertama yang harus dilalui Indonesia sebelum produk-produk budaya negeri ini dapat dicintai oleh warga dunia selayaknya Hollywood dan K-Pop.
“Kemudian, karya-karya kreatif ini harus memiliki identitas yang benar-benar Indonesia atau meramu berbagai unsur dari seni-budaya Indonesia. Motif Indonesia, rasa Indonesia, watak Indonesia. Harus punya kepribadian,” kata Oi, nama panggilan Muhammad Khoirun Nassar.
Melalui Swara Gembira, Oi telah menggelar enam pertunjukan yang mementaskan ragam budaya Indonesia, dari tari-tarian tradisional hingga lagu-lagu pop. Pada pertunjukan terakhir bertajuk “Hip Hip Hura”, Oi membuat tribute kepada almarhum Chrisye melalui 14 tarian tradisional Nusantara yang digabungkan dengan lagu-lagu populer penyanyi legendaris itu.
Baca juga: Hip Hip Hura, Sebuah Pelajaran tentang Indonesia dari Chrisye
Langkah lanjutan dalam upaya mempopulerkan budaya Indonesia di kancah internasional, menurut Oi, adalah gotong-royong multi-disiplin seni. Ia melihat negara-negara “pemenang kebudayaan”, seperti Korea Selatan dan Jepang, berhasil mengkampanyekan berbagai bentuk kebudayaannya secara sinkron, baik itu tata busana, kuliner, musik, maupun film.
“Contohnya adalah Korea Selatan. Mereka tidak takut untuk menggunakan bahasa Korea dalam musik, film, hingga makanannya. Sampai-sampai, remaja Indonesia pun belajar bahasa Korea,” kata Oi.
Oi bercita-cita Indonesia menjadi salah satu mercusuar budaya dunia. Tanpa cinta terhadap produk dan budaya dalam negeri, impian tersebut tidak akan terwujud. “Kita semua harus berusaha tiada henti. Terus berusaha,” kata dia.