SURABAYA, KOMPAS – Konsep keadilan dalam sistem keuangan syariah berpotensi mengatasi kesenjangan pertumbuhan ekonomi global. Hal ini mendorong pemerintah fokus dalam percepatan pengembangan ekonomi syariah demi memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo menyatakan, pengalaman krisis keuangan di masa lalu membuktikan fundamen keuangan syariah memiliki daya tahan yang kuat. “Dalam prinsip ekonomi syariah, transaksi keuangan harus berdasarkan aktivitas riil,” kata Dody dalam rangkaian Festival Ekonomi Syariah Indonesia (ISEF) 2018, di Surabaya, Kamis (13/12/2018).
Produk pembiayaan perbankan syariah, seperti murabahah, membuat nasabah memeroleh margin tetap dan tidak berubah seperti bank konvensional. Pasalnya, transaksi keuangan syariah berlandaskan pada aset dasar (underlying asset), berbeda dengan perbankan konvensional yang cenderung spekulatif.
Menurut Dody, sistem ekonomi dan keuangan syariah dapat mengisi kerapuhan pondasi ekonomi dunia dalam membenahi ketimpangan ekonomi global saat ini. Nilai yang dianut keuangan syariah mendukung keadilan dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang berorientasi pada kesejahteraan manusia.
Berdasarkan laporan World Inequality Report 2018, lanjut Dody, ketimpangan ekonomi meningkat di berbagai belahan dunia, dengan sebanyak 1 persen orang terkaya di dunia memiliki jumlah kekayaan dua kali lipat dari total kekayaan 50 persen orang termiskin di dunia.
Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah BI Anwar Bashori mengatakan bank sentral telah menginisiasi pengembangan peta jalan ekonomi dan keuangan syariah melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.
“Roadmap (peta jalan) tersebut akan memayungi seluruh program pengembangan syariah di kementerian dan lembaga serta menjadi acuan dari pusat hingga daerah untuk mengembangkan dan mengakselerasi keuangan syariah,” ujarnya.
Pada peta jalan tersebut, strategi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah akan berlandaskan pada tiga pilar, yakni pendalaman pasar keuangan syariah, pemberdayaan ekonomi, serta edukasi dan riset.
Dalam makalahnya, Direktur Pusat Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Durham, Mehmet Asutay, menyebutan ekonomi berlandaskan hukum Islam adalah respons dari model perekonomian yang tidak berkelanjutan. Struktur dalam ekonomi syariah dibangun untuk menyelamatkan manusia, tanah, tenaga kerja, dan modal.
Namun, keuangan syariah perlu didefinisikan ulang karena selama ini pembahasan hanya berkutat di area perbankan syariah. Padahal system keuangan syariah, menurut Asutay, adalah sebuah seni dalam memberikan perlindungan dan pembiayaan untuk tujuan pemberdayaan yang berkelanjutan.
Pangsa ekspor
Staf Ahli Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Amalia Adininggar mengatakan, selain membenahi ekosistem ekonomi syariah di dalam negeri KNKS juga berupaya meningkatkan penetrasi ekspor produk halal pada rantai nilai pasar global.
Menurut Amalia, produk Indonesia yang saat ini paling berpotensi masuk dalam rantai nilai pasar halal global adalah produk makanan-minuman, dan pakaian. “Potensi pertumbuhan untuk setiap tahun masih kita hitung, yang jelas makanan dan produk fesyen Indonesia laku keras pasar halal global,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Amalia, Indonesia sudah menguasai 10,7 persen pangsa pasar halal global untuk sesama negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Angka ini masih berada di bawah Malaysia sebesar 13,8 persen, Uni Ermirat Arab (13,6 persen), dan Arab Saudi (12 persen).
Uang elektronik
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Erwin Haryono mengatakan untuk mengakomodisr prinsip syariah dalam penggunaan uang elektronik, pihaknya mewacanakan untuk merevisi peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik.
Terkait ketentuan penyimpanan dana mengendap uang elektronik, pihaknya akan mengupayakan agar dana mengendap (floating fund) pada uang elektronik tidak hanya di simpan di bank konvensional, namun juga di bank syariah.
Dalam aturan saat ini, penerbit uang elektronik wajib menyimpan dana mengendap di bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun atau Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV. Padahal baru lima bank yang termasuk dalam kategori BUKU IV dan semuanya adalah bank konvensional, terdiri dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, serta PT Bank CIMB Niaga Tbk.