JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah mesti mewaspadai laju kenaikan inflasi yang berpotensi terjadi pada 2019, kendati masih dalam batas aman. Kenaikan inflasi ini bersumber dari tekanan terhadap rupiah dan keterbatasan pasokan minyak akibat pengurangan produksi minyak dunia serta cuaca ekstrem.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dikutip Kompas, Jumat (14/12/2018), inflasi pada Januari-November 2018 sebesar 2,5 persen. Tahun ini, Bank Indonesia menargetkan inflasi berkisar 2,5-4,5 persen. Dalam asumsi makro APBN 2018, inflasi ditargetkan 3,5 persen, sedangkan pada 2019 berkisar 2,5-4,5 persen.
Proyeksi Bank Dunia, tim Ekonom Bank Mandiri, dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang dihimpun Kompas, inflasi 2018 sekitar 3,2 persen. Adapun inflasi 2019 diproyeksikan 3,5-4 persen.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Gunawan mengatakan, inflasi 2019 dapat mencapai 4 persen. Saat ini, sebagian besar dampak depresiasi nilai tukar rupiah dan kenaikan harga minyak dunia ditanggung pedagang besar atau produsen. Hal ini tercermin dari kesenjangan antara inflasi Indeks Harga Perdagangan Besar (WPI) total dengan barang nonmigas.
Inflasi WPI secara tahunan sampai November 2018 sebesar 7,07 persen, sedangkan WPI barang nonmigas jauh lebih rendah, yakni 3,65 persen.
“Kesenjangan itu adalah inflasi akibat migas, termasuk depresiasi rupiah. Sebagian besar dampaknya masih ditahan produsen, yang pada titik tertentu akan dialihkan ke konsumen,” kata Anton.
Laju inflasi 2019 akan dipengaruhi keputusan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, dalam menaikkan suku bunga acuan. Jika The Fed menaikkan suku bunga acuannya tiga kali, maka suku bunga Bank Indonesia bisa mencapai 6,5 persen pada 2019. Kenaikan suku bunga ini memengaruhi kinerja ekspor-impor serta investasi.
Selain nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, inflasi bisa meningkat karena terjadi kontraksi pada sisi penawaran. Pasokan tahun depan terbatas karena dipengaruhi kesepakatan pengurangan minyak dunia dan faktor cuaca. Intensitas hujan di Indonesia yang berkurang akan mengganggu sektor pertanian sehingga harga pangan yang mudah bergejolak bisa naik.
Pekan lalu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) sepakat memangkas produksi minyak. Tujuannya, mendongkrak harga minyak mentah dunia. Mengutip laman Bloomberg, Jumat malam, harga minyak mentah jenis Brent 61,36 dollar AS per barrel. Adapun jenis WTI seharga 52,5 dollar AS per barrel.
Bank Dunia dalam laporan perkembangan triwulanan perekonomian Indonesia menyebutkan, kenaikan inflasi 2019 akan dibarengi penguatan konsumsi karena belanja sosial dan pasar tenaga kerja meningkat. Namun, investasi belum pulih karena investor cenderung menahan diri hingga momen Pemilu selesai.
Tahun politik
Indef dalam laporan proyeksi ekonomi Indonesia 2019 menyebutkan, pemerintah berhasil mengatur inflasi 2018, kendati harga minyak dunia naik. Momentum tahun politik menyebabkan harga BBM dan tarif dasar listrik tidak naik. Namun, kenaikan harga sangat mungkin terjadi pasca Pemilu selesai.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan, inflasi yang relatif rendah saat ini disebabkan daya beli yang juga rendah. Inflasi rendah merepresentasikan keberhasilan pengendalian harga jika dibarengi laju pertumbuhan ekonomi yang juga meningkat.
Tantangan pengendalian inflasi 2019 menitikberatkan pada komponen inflasi bahan pangan bergejolak dan inflasi inti. Penyebab utama inflasi dari bahan pangan bergejolak adalah kekurangan pasokan terutama pada momen peringatan hari keagamaan dan libur panjang. Di sisi lain, faktor cuaca dan kendala distribusi mesti segera dicari solusinya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pekan lalu, mengatakan, selama ini penyebab inflasi di Indonesia bersumber dari bahan pangan bergejolak atau barang yang harganya diatur pemerintah. (KRN)