JAKARTA, KOMPAS - Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) mendesak kepada pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk segera menerbitkan undang-undang jasa konsultansi. Selama ini jasa konsultasi, kecuali konsultan konstruksi, belum mempunyai payung hukum. Sehingga pengembangannya menjadi sulit dan cenderung tidak berkembang.
"Undang-undang ini penting sebagai landasan bagi anggota kami yang bukan dari konstruksi agar mendapat dasar hukum yang lebih kuat," kata Ketua Umun Dewan Pimpinan Nasional Inkindo Peter Frans, di Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Dia mengatakan, untuk jasa konsultasi konstruksi telah mempunyai payung hukum berupa Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dengan adanya payung hukum itu, maka jasa kontruksi mempunyai standar dan bisa berkembang dengan maksimal.
"Dengan adanya UU itu, maka jasa konsultasi konstruksi mempunyai kewajiban untuk memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan Sertifikat Keahlian (SKA). Dengan demikian, kualitas jasa konstruksi juga terjaga. "Hal serupa juga dibutuhkan pada konsultansi di sektor non konstruksi," tegas Frans.
Frans menjelaskan kehadiran undang-undang ini sangat penting, sehingga dimasukan dalam salah satu peta jalan Menuju Inkindo Emas 2030 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi anggota Inkindo.
"Sementara ini, kebijakan penyelenggara jasa konsultan non konstruksi masih menginduk ke Bappenas, namun ke depannya segera diterbitkannya UU jasa Konsultansi sebagai payung hukumnya," jelas dia.
Peter mengatakan, peluang jasa konsultansi non konstruksi sangat besar. Bahkan melebihi jasa konsultansi konstruksi. Hampir seluruh kementerian/ lembaga pemerintah baik di pusat maupun daerah memerlukan layanan jasa konsultansi nonkonstruksi meliputi bidang pengembangan pertanian dan perdesaan, transportasi, telematika, kepariwisataan, perindustrian, perdagangan, pertambangan, energi, keuangan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, serta rekayasa industri.
Coba bandingkan dengan jasa konsultansi konstruksi yang lebih banyak terkonsentrasi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Perhubungan. Dalam beberapa proyek, nilai paket jasa konsultansi non konstruksi bahkan bisa jauh lebih besar dibanding jasa konsultansi konstruksi.
Peter menambahkan sementara menunggu proses terbintnya UU Jasa Konsultan yang memang memerlukan waktu panjang, perlu diterbitkan Perpres yang mengatur billing rate (pengupahan) konsultansi non-kontruksi yang mengacu pada standar billing rate minimal Inkindo.
Dalam pekerjaan pemberdayaan masyarakat, misalnya, nilai kontraknya bisa mencapai lebih dari Rp 100 miliar dan bersifat tahun jamak (multi-years). Ini adalah nilai kontrak yang sangat jarang ditemui untuk proyek-proyek jasa konsultansi konstruksi pada umumnya. Meskipun peluang pasarnya sangat besar, namun belum memiliki landasan hukum yang kuat. Undang-undang yang mengaturnya belum ada. Akibatnya, banyak pekerjaan diambil oleh konsultan asing.
"Belum adanya payung hukum juga menimbulkan beberapa ekses dalam proses pengadaan jasa konsultansi non-konstruksi. Di antaranya tidak memenuhi norma-norma pekerjaan jasa konsultansi profesional," jelas Direktur Eksekutif Inkindo, Yudi Setiabudi.
Dia mencontohkan, ada proyek pemberdayaan masyarakat yang dibiayai oleh Bank Dunia. Awalnya merupakan pekerjaan konsultansi namun dalam perkembangannya menjadi pekerjaan non-consulting services (NCS).
"Dalam skema NCS, fungsi konsultan dimarjinalkan, hanya sebagai \'juru bayar\' karena tenaga ahli direkrut langsung oleh pengguna jasa. Kerap terjadi juga banting bantingan tarif jasa," kata Yudi.