JAKARTA, KOMPAS-- Denmark berminat untuk berinvestasi mengembangkan energi terbarukan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hasil studi menunjukkan, potensi energi terbarukan di Lombok bisa menyumbang lebih dari 50 persen dalam bauran energi di wilayah tersebut pada 2023.
Saat ini, ketergantungan Lombok pada pembangkit listrik tenaga diesel sangat tinggi.
Dari hasil kajian yang dilakukan KPMG, lembaga konsultan asal Denmark, potensi energi terbarukan di Lombok yang berpeluang besar dikembangkan sebagai tenaga listrik adalah biomassa dari sekam, tenaga surya, bayu, dan tenaga sampah. Khusus sumber energi dari sekam dan sampah, pengembangannya akan ekonomis jika pasokannya stabil.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, potensi tenaga surya di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 9.900 megawatt (MW) atau yang terbesar dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya. Sisanya, tenaga bayu 2.605 MW, bioenergi 394 MW, mikrohidro 31 MW, dan tenaga panas bumi 6 MW.
Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Rasmus Abilgaard Kristensen mengatakan, Denmark tertarik berinvestasi mengembangkan sumber energi terbarukan di NTB. Menurut dia, dibandingkan dengan tenaga fosil yang tak bisa diperbarui, sumber energi terbarukan akan ekonomis dalam jangka panjang. Sebab, tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memperoleh tenaga bayu, surya, atau mikrohidro.
"Mungkin pada awalnya (investasi energi terbarukan) cukup besar, tetapi selanjutnya tidak perlu membeli. Coba bandingkan dengan batubara yang harus mengeluarkan biaya setiap tahun untuk ongkos perolehannya," kata Rasmus dalam acara Lombok Energy Outlook, Kamis (13/12/2018), di Jakarta.
Rasmus menambahkan, masalah ketidakstabilan pasokan tenaga listrik dari energi terbarukan bisa diatasi. Ia menyebut masalah tersebut sebagai masalah teknis. Namun, untuk skala keekonomian, sumber energi terbarukan di Indonesia akan menguntungkan jika dikembangkan dalam kapasitas besar yang mencapai setidaknya ratusan megawatt.
Peneliti KPMG, Bjarne Bach, mengungkapkan, potensi sekam di Lombok yang sebesar 340.000 ton per tahun bisa menjadi sumber energi tenaga biomassa. Dengan potensi sebesar itu, tenaga listrik yang dihasilkan bisa mencapai 60 MW hingga 65 MW. Namun, keandalan pasokan sekam sangat penting.
"Dari kajian kami, untuk mengoperasikan 20 MW pembangkit listrik tenaga biomassa dibutuhkan biaya 40 juta dollar AS sampai dengan 60 juta dollar AS," ujar Bjarne.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Saleh Abdurrahman menuturkan, pemerintah Indonesia menyambut baik jika Denmark menanamkan investasi untuk pengembangan energi terbarukan di NTB.
Menurut dia, hasil kajian yang dilakukan tidak akan berarti apa-apa apabila tidak ditindaklanjuti dengan investasi. Apalagi, Lombok khususnya, butuh pasokan listrik yang andal karena daerah tersebut dikenal sebagai pusat wisata.
"Pengembangan energi terbarukan penting dalam hal pelibatan masyarakat lokal. Ini juga bagian dari upaya mewujudkan target bauran energi nasional dari energi terbarukan sebesar 23 persen di 2025 nanti," ujar Saleh.
Berdasarkan data PLN, bahan bakar minyak (solar) menjadi sumber energi utama pada bauran energi pembangkit listrik di NTB sebesar 66,08 persen. Berikutnya, batubara (pembangkit listrik tenaga uap) berkontribusi 31,5 persen, tenaga air 2,36 persen, dan sisanya adalah tenaga surya.
Mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, rasio elektrifikasi di NTB sebesar 88,5 persen. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang mengakses listrik dengan jumlah populasi di suatu wilayah. (APO)