Masih perlu kerja keras untuk melaksanakan Program Tol Laut yang sudah berjalan empat tahun. Kementerian Perhubungan selaku penyedia angkutan tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada dukungan dari banyak pihak, antara lain berupa komitmen, regulasi, inovasi, dan keikutsertaan aktif.
Sebab, program ini mesti berhasil karena bertujuan mengurangi disparitas harga antara kawasan Indonesia bagian barat dan bagian timur. Masyarakat yang dilayani adalah masyarakat yang tinggal di wilayah terluar, terpencil, tertinggal, dan di perbatasan.
Saat ini, trayek yang dilayani Tol Laut sudah berkembang lebih dari enam kali lipat. Pada saat diluncurkan pada Oktober 2014, baru tersedia 3 trayek. Pada 2018 sudah tersedia 19 trayek di program Tol Laut. Bahkan, pemerintah ingin terus menambah trayek atau memodifikasi rute agar program ini lebih efektif dan dirasakan lebih banyak masyarakat.
Semula, pemerintah menugaskan PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni untuk menjalankan trayek ini. Namun, pelayaran swasta pun ingin ikut terlibat dalam layanan ini. Sebab, ada rute-rute yang bersinggungan dengan kapal swasta. Untuk membuka peluang yang sama dengan BUMN, Kementerian Perhubungan memberi kesempatan kepada swasta untuk mengikuti tender Tol Laut. Memang, tidak semua pelayaran swasta mengikuti tender itu semata-mata untuk komersial. Ada pelayaran swasta yang mengikuti tender Tol Laut untuk menyalurkan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat dengan hampir tidak meminta subsidi Tol Laut.
Tol Laut juga menumbuhkan inovasi berupa pembuatan peti kemas mini berukuran 7 kaki. Ukuran normal peti kemas 20 kaki dan 40 kaki. Pembuatan peti kemas mini membuat barang-barang bisa diangkut dengan kapal-kapal kecil berukuran 50 gross ton (GT) atau menggunakan kapal rakyat berukuran 35 GT.
Kapal-kapal kecil ini diperlukan untuk menjangkau pulau-pulau kecil di perairan yang tidak dalam, yang sulit dijangkau kapal besar. Dengan demikian, wilayah yang terpencil seperti Miangas dan Kakorotan (Sulwesi Utara), Sanana (Maluku Utara), serta Bovendigul dan Mamberamo (Papua) bisa mendapatkan pasokan barang.
Selain kapal berukuran kecil, untuk mendorong barang-barang, Tol Laut bisa lebih dimanfaatkan rakyat di di wilayah terpencil. Program ini juga membutuhkan keterlibatan armada udara dan armada jalan raya dengan konsep perintis. Tanpa dukungan dari udara dan jalan raya, hanya masyarakat di tepi pantai, kepulauan, atau tepi sungai besar yang bisa terlayani.
Oleh karena itu, setelah 4 tahun dijalankan, sudah waktunya evaluasi besar-besaran dilakukan, untuk mengetahui seberapa jauh program Tol Laut berdampak positif terhadap masyarakat. Misalnya, apakah barang-barang yang sampai di pelabuhan tujuan, disebar ke masyarakat yang membutuhkan, atau justru jatuh ke tangan tengkulak atau pedagang yang menjadi penguasa dari daerah itu?
Kemudian, bagaimana dengan frekuensi pasokan? Seberapa sering kapal Tol Laut bisa datang ke pelabuhan tujuan? Jika hanya sebulan sekali, maka ketersedian barang juga tidak terjamin. Akibatnya, harga tidak akan turun. Jika kapal Tol Laut bisa sering datang, setidakya seminggu sekali, maka barang tetap tersedia di masyarakat dan harga tidak melonjak.
Kemudian, dari sisi regulasi, ada beberapa regulasi penting yang tidak sesuai dengan konsep Tol Laut. Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, PP 5/2010 tentang Kenavigasian, PP 20/2010 tentang Angkutan di Perairan, dan PP 21/2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim. Keempat regulasi ini sudah usang, sehingga harus diperbarui.
Masih banyak hal yang mesti dibenagi, sehingga semua pemangku kepentingan mesti bekerja keras. Dengan cara itu, dampak Tol Laut akan dirasakan masyarakat. (M Clara Wresti)