SURABAYA, KOMPAS – Bank Indonesia akan bersikap konservatif dalam stabilitas nilai tukar rupiah sepanjang sisa tahun 2018. Namun lewat berbagai kebijakan intervensi, bank sentral tetap perlu berhati-hati, terutama dalam mengunakan cadangan devisa.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan bank sentral tetap konsisten pada kebijakan intervensi di pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), pasar valuta asing tunai secara terukur, serta Surat Berharga Negara di pasar sekunder.
“BI berkomitmen untuk semakin memperkaya instrumen lindung nilai dengan harga yang lebih murah, seperti swap hedging. Dengan diluncurkannya DNDF juga akan memperluas opsi pelaku pasar untuk mengelola kebutuhan valas,” katanya di Surabaya, Kamis (13/12/2018).
Lelang transaksi DNDF untuk pertama kali telah dibuka pada pertengahan November lalu, yang ditargetkan dapat meraup transaksi hingga 100 juta dollar AS. Dengan transaksi ini diharapkan rupiah dapat menguat, dan investor juga perbankan dapat terlindungi dari risiko nilai tukar.
BI pun tengah memperluas kerja sama bilateral swap antara mata uang lokal dengan sejumlah negara. Terakhir, bank sentral telah bekerja sama dengan Bank of Thailand dan Bank Negara Malaysia untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi antar pelaku ekonomi kedua negara tersebut.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah kemarin kembali menguat ke level Rp 14.536 per dollar AS, setelah dua hari sebelumnya sempat menyetuh 14.613 per dollar AS.
Kurs rupiah sebenarnya telah mengalami penguatan dalam sebulan terakhir. Hal itu ditopang oleh kondisi eksternal yang perlahan mereda seperti penangguhan perang dagang antara China dan AS. Selain itu, aliran modal asing juga perlahan kembali masuk ke pasar keuangan domestik.
Terbukti, cadangan devisa pada November lalu tercatat meningkat dari 115,2 miliar dollar AS menjadi 117,2 miliar dollar AS. Adapun dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR beberapa waktu lalu, BI memproyeksikan kurs rupiah sepanjang tahun depan berada di kisaran Rp 14.800 – 15.200 per dolar AS.
Meskipun kondisi eksternal secara umum cenderung membaik, Dody mengatakan bank sentral tetap mewaspadai risiko ketidakpastian yang masih tinggi. BI tetap akan mengambil sikap konservatif dalam setiap langkah mereka menentukan kebijakan moneter.
Kebijakan moneter ketat yang dilakukan BI dengan menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin, merupakan upaya untuk mengurangi semakin melebarnya defisit transaksi berjalan. Kenaikan suku bunga acuan mengurangi tekanan dari sisi permintaan domestik, yang berdampak pada pengurangan deficit transaksi berjalan (CAD).
Pada 2019 defisit neraca transaksi berjalan diharapkan akan berkurang dan bisa kembali bergerak di angka 2,5 persen dari produk domestic bruto (PDB). Hingga akhir tahun ini, lanjut Dody, BI tetap berasumsi CAD akan berada di bawah 3 persen dari PDB.
Secara terpisah, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual menilai BI telah memiliki cukup persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan sengitnya perebutan dolar AS tahun depan. Namun diharapkan, bank sentral tetap berhati-hati dalam melakukan intervensi yang mengandalkan cadangan devisa.
“BI sudah siapkan banyak kesepakatan perjanjian swap valas dengan banyak negara. Tetapi karena tantangan ke depan masih cukup besar, kebijakan intervensi langsung ke pasar keuangan harus terukur melihat kondisi terkini,” ujarnya.