JAKARTA, KOMPAS - Pemanfaatan biodiesel dari kelapa sawit dipercaya akan memberikan sejumlah manfaat positif bagi Indonesia. Namun untuk mendorong penguatan industri biodiesel sampai dengan tahun-tahun mendatang, pemerintah harus melakukan langkah-langkah strategis. Di antaranya, tidak menambah lahan sawit.
Demikian salah satu rekomendasi yang disampaikan Koaksi Indonesia, organisasi nirlaba yang mendorong penggunaan energi terbarukan, dalam pemaparan studi mengenai penggunaan biodiesel, di Jakarta, Rabu (5/12/2018).
Program Manager Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan menjelaskan, Koaksi Indonesia telah melakukan studi dan menyimpulkan ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah. Langkah strategis yang direkomendasikan oleh Koaksi Indonesia berdasarkan studi ini yaitu, pengembangan biodiesel harus dilakukan secara lebih terarah, terukur, serta mendorong integrasi yang lebih baik di antara sektor terkait.
Selain itu pemanfaat biodiesel ini tidak memerlukan penambahan lahan, karena lahan perkebunan sawit yang sudah ada, sudah sangat mencukupi. Peningkatan produktivitas sebesar 1,4 ton per hektar dari rata-rata produksi sekarang yang hanya 2,7 ton per hektar dapat memenuhi permintaan biodiesel hingga tahun 2025 sebesar 11,75 jt KL.
“Penguatan standar keberlanjutan yang sudah ada merupakan langkah safeguarding yang paling tepat saat ini terhadap isu keberlanjutan lingkungan. Penunjukan dedicated area (arahan blueprint tim nasional pengembangan BBN 2006 – 2025) menjadikan perhitungan strategi peningkatan produktifitas serta emisi life cycle dapat dilakukan berdasarkan kalkulasi yang jelas,” kata Azis.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kemenko Perekonomian Andi Novianto mengatakan, penggunaan biodiesel B20 sangat membantu mengurangi defisit neraca pembayaran yang terus membesar sejak awal tahun. “Kami berharap, penggunaan B20 ini bisa mengurangi defisit sebesar 3 miliar dollar AS sepanjang tahun 2019,” kata Andi.
Dia mengatakan saat ini penggunaan B20 telah diperluas, tidak hanya pada transportasi yang menggunakan anggaran PSO, tetapi juga sudah menjadi sebuah mandatori di bidang kelistrikan, pertambangan, perkeretaapian, angkutan laut, dan sarana pertahanan. “Ke depannya akan diperluas lagi. Akan semakin banyak bidang-bidang usaha yang harus menggunakan biodiesel,” ujar Andi.
Dia mengatakan, dari hasil evaluasi penggunaan biodiesel sejak September lalu, ada sejumlah kendala yang dihadapi. Yakni, teknologi untuk mengubah dari B20 ke B30 atau yang lebih tinggi. Penggunaan biodiesel juga memancing persaingan dagang, terutama dari negara-negara pemasok minyak nabati. Ketiga, efisiensi logistik dengan meningkatkan keberhasilan distribusi dan menurunkan biaya. Keempat, kontinuitas pasokan dalam negeri sehingga masyarakat terjamin dalam mendapatkan biodiesel.
“Jika ini semua bisa dijawab, maka penggunaan biodiesel akan lebih luas dan berkelanjutan. Penggunaan biodiesel akan berkontribusi besar dalam ketahanan energy, sifatnya yang terbarukan dan lebih bersih dari bahan bakar fosil, akan memberikan manfaat yang lebih berkesinambungan,” ujar Andi.
Seperti diketahui, pemanfaatan energi terbarukan menjadi bagian upaya mitigasi perubahan iklim yang mengurangi penggunaan energi fosil. Sejauh ini, energi fosil adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar, baik di tingkat global maupun nasional.
Biodiesel merupakan salah satu jenis energi terbarukan yang digunakan untuk menggantikan bahan bakar diesel konvensional dan dapat menurunkan emisi gas buang sehingga menjadi lebih bersih dan ramah lingkungan.
Pemerintah Indonesia lalu mengambil langkah ambisius dalam kebijakan energinya melalui adanya program mandatori pencampuran biodiesel yang telah dilaksanakan sejak tahun 2006. Kebijakan ini ditetapkan agar Indonesia mencapai kemandirian energi dan terlepas dari ketergantungan impor bahan bakar fosil yang terus-menerus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Seiring dengan berjalannya waktu dan kompleksitas kebijakan di tingkat nasional dan global, kebijakan ini kemudian memiliki dimensi lain, yakni menjadi bagian dari kontribusi Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi. Pelaksanaan biodiesel Indonesia banyak menemui tantangan, yaitu dari aspek koordinasi lintas kementerian, penerimaan industri maupun pemangku kepentingan secara luas, keberlanjutan nilai keekonomian, dan aspek keberlanjutan sosial dan lingkungan.