JAKARTA, KOMPAS--Aksi ambil untung investor menghentikan reli penguatan indeks harga saham gabungan atau IHSG pada Senin (3/12) dan Selasa (4/12). Namun, sentimen global dan upaya emiten mempercantik laporan keuangan diyakini menopang IHSG sehingga tetap berada di level 6.000-an sampai dengan pergantian tahun ini.
Analis Semesta Indovest Sekuritas, Aditya Perdana Putra, mengatakan, indikator teknikal memperlihatkan IHSG rawan aksi pengambilan untung setelah penguatan dua hari beruntun.
“Koreksi IHSG masih wajar terjadi akibat dua hari penguatan beruntun. Meskipun, dampak pelemahan bursa global juga tidak bisa dikesampingkan turut menahan penguatan IHSG,” kata Aditya di Jakarta, Rabu.
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup melemah 19,74 poin atau 0,32 persen ke level 6.133,12. Investor asing lebih banyak menjual ketimbang membeli saham. Tercatat, nilai jual bersih sebesar Rp 509,57 di pasar reguler dan Rp 709,16 miliar di pasar keseluruhan.
Koreksi IHSG sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) kemarin, nilai tukar sebesar Rp 14.383 per dollar AS, melemah 90 poin dari hari sebelumnya yang sebesar Rp 14.293 per dollar AS.
Aditya mengatakan sentimen, baik yang berasal dari eksternal maupun internal, masih menyokong IHSG. Stabilitas nilai tukar rupiah masih akan mendukung dana asing mengalir masuk ke pasar modal Indonesia.
“Aliran masuk modal asing masih akan berlanjut, yang akan menyokong pergerakan IHSG," ujar Aditya.
Sementara, analis senior CSA Research Institute, Reza Priyambada, menilai, pergerakan bursa saham global yang melemah berdampak negatif pada pergerakan IHSG. Pelemahan bursa saham global terjadi seiring kekhawatiran investor terhadap pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Perkiraan Apindo
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 sebesar 5,2 persen. Perkiraan ini lebih konservatif dari target pemerintah yang sebesar 5,3 persen.
"Kami melihat banyak faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi agak tertekan tahun depan, masih seperti tahun ini," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani di Jakarta, Rabu.
Hariyadi mengatakan, salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap perekonomian adalah tekanan global. Pelaku usaha belum mengetahui perkembangan lebih lanjut dari hubungan dagang AS dan China.
"Di pertemuan G20 kemarin AS dan China baru gencatan senjata, 90 hari ke depan tidak ada kenaikan, kira-kira begitu pengumumannya. Tetapi kami tidak tahu itu nanti akan seperti apa kondisinya," katanya.
Ketua Industri Manufaktur Apindo Johnny Darmawan mengatakan, kepastian hukum adalah kata kunci dalam membangun industri. "Peraturan itu harus konsisten dan konsekuen," katanya.
Sementara itu, pada tahun depan, penerbitan obligasi korporasi diperkirakan masih akan digunakan sebagai cara memenuhi kebutuhan pendanaan ulang utang. Langkah ini seiring dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi domestik pada 2019 yang belum terlalu tinggi.
"Pengamatan kami sepanjang 2018, penerbitan obligasi korporasi, baik obligasi konvensional maupun sukuk, digunakan untuk pembiayaan ulang utang. Jadi, trennya kemungkinan tidak jauh berbeda pada tahun mendatang. Apalagi, pada 2019, Indonesia menjalani Pemilu," kata Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto, di sela-sela seminar Outlook Pasar Modal Syariah 2019 yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rabu (5/12/2018), di Hotel Borobudur Jakarta.
Adiwarman Karim dari Karim Consulting Indonesia menambahkan, sejumlah korporasi yang pinjamannya dari jasa keuangan konvensional sudah berlebihan, memerlukan sumber lain untuk mendanai proyek mereka. Salah satu sumber yang dipilih adalah sukuk karena metode penerbitannya berupa sertifikat kepemilikan atau penyertaan.
Menurut Handy, ketidakpastian global akan tetap membayangi situasi di dalam negeri. Perang dagang China-Amerika Serikat serta pengetatan likuiditas turut menjadi perhatian korporasi. Kedua kondisi ini diyakini akan mendorong volatilitas pasar obligasi Indonesia pada 2019.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen, mengatakan, pada 23 November 2018, OJK telah menerbitkan Daftar Efek Syariah yang berisi 407 saham dan berlaku efektif pada 1 Desember 2018. (DIM/CAS/MED)