JAKARTA, KOMPAS-- Deregulasi dalam Paket Kebijakan Ekonomi belum bisa sepenuhnya diimplementasikan. Hingga kini, masih banyak pelaku usaha di daerah yang belum mengetahui dan merasakan dampaknya.
Selain itu, kesulitan mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi itu antara lain akibat ego sektoral yang masih tinggi.
"Di tataran regulasi, sebenarnya sudah bagus yang dilakukan pemerintah. Dari 16 paket deregulasi yang dilakukan, ada lima paket yang berkaitan dengan logistik. Namun, dampaknya belum terasa," kata Ketua Umum Terpilih Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi, dalam Musyawarah Nasional ALFI di Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Menurut Yukki, regulasi sangat membantu untuk meningkatkan daya saing. Akan tetapi, regulasi mesti disesuaikan dengan kondisi dan membantu pelaku usaha nasional agar tetap bisa berusaha dengan baik.
"Regulasi ini bukan proteksi, tetapi membantu agar usaha berjalan lancar, efisien, dan berdaya saing. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi dan kerja sama yang baik antarsektor agar implementasi regulasi bisa terlaksana," kata Yukki.
Ia mengakui, selain menerbitkan paket kebijakan ekonomi, sudah banyak perbaikan yang dilakukan pemerintah sehingga kinerja logistik Indonesia membaik, dari urutan 63 ke 46 di dunia. Namun, di ASEAN, posisi Indonesia justru melorot, bahkan kalah dari Vietnam. Indonesia yang semula ada di posisi keempat, turun menjadi posisi kelima. Adapun Vietnam yang sebelumnya di posisi 5, naik menjadi posisi 3.
Yukki percaya, jika sebagian besar proyek infrastruktur di Indonesia sudah selesai dibangun, maka biaya logistik Indonesia bisa turun. Jika tahun lalu biaya logistik mencapai 23,7 persen dari produk domestik bruto (PDB), maka pada 2019 bisa turun menjadi 21,5-22 persen PDB.
"Tetapi angka ini juga belum cukup untuk masuk ke posisi 30 besar dunia atau ke tiga besar ASEAN. Kalau biaya logistik bisa 18 persen PDB, saya yakin Indonesia bisa masuk dalam 30 besar. Hal ini akan berkontribusi terhadap PDB sebesar 1 persen. Artinya, kalau sekarang pertumbuhan ekonomi kita mencapai 5,2 persen, maka pertumbuhan kita akan menjadi 6,2 persen," kata Yukki.
Potensi e-dagang
Sementara, Ketua Dewan Pembina ALFI Chris Kanter mengatakan, pertumbuhan perdagangan elektronik atau e-dagang yang sangat pesat berpotensi luar biasa besar bagi perkembangan logistik. Namun, jika pelaku usaha logistik dalam negeri tidak siap, maka Indonesia hanya akan menjadi pasar.
Menurut Chris, regulasi mesti siap menghadapi perkembangan e-dagang yang sangat cepat.
"Apabila tidak siap, maka Indonesia hanya akan sebagai pasar. Apalagi, banyak perjanjian bilateral yang telah kita buat, yang bisa jadi justru tidak menguntungkan buat kita yang belum siap. Misalnya, kebijakan China yakni Prakarsa Sabuk dan Jalan, akan masuk ke setiap negara secara masif," kata Chris.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Djoko Sasono menuturkan, sesuai tugas dan fungsinya, Kementerian Perhubungan menyiapkan infrastruktur yang mendukung logistik.
"Kami membangun pelabuhan dan bandara. Bahkan, menyiapkan pelabuhan alih muatan di Pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatera Utara," kata Djoko.
Pelabuhan Kuala Tanjung ini akan bersaing dengan Singapura dan Malaysia untuk ekspor-impor barang. (ARN)