Minyak sawit mentah atau CPO dan produk turunannya tengah menapaki jalan terjal. Hampir setahun terakhir, harga komoditas ekspor utama Indonesia itu di bawah ambang batas penetapan bea keluar, yaitu 750 dollar AS per ton.
Permintaan dari negara-negara utama pengimpor CPO juga turun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada Januari-Oktober 2018, nilai ekspor CPO yang termasuk dalam kode HS 15 golongan lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 17,1 miliar dollar AS. Nilai ekspor itu turun 9,94 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, yakni 18,9 miliar dollar AS.
Penurunan ekspor terjadi tak hanya karena harga CPO yang rendah. Penurunan juga terjadi karena hambatan perdagangan, baik tarif maupun nontarif di sejumlah negara, seperti negara-negara di kawasan Uni Eropa, India, dan Pakistan.
Di India, tarif bea masuk CPO sangat tinggi, yaitu 49 persen. Adapun tarif bea masuk produk turunan CPO 59 persen. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya ke India pada Januari-Oktober 2018 sebesar 3 miliar dollar AS atau turun 15,11 persen dari periode yang sama pada 2017, yakni 4,1 miliar dollar AS.
Di Pakistan, nilai ekspor komoditas itu secara akumulatif turun dari 1,19 miliar dollar AS menjadi 1,12 miliar dollar AS. Hal itu terjadi setelah Badan Otoritas Pangan Provinsi Punjab, Pakistan, mengeluarkan larangan penggunaan vanaspati ghee atau minyak goreng berbahan baku 70 persen dari CPO yang akan berlaku pada 2020.
Sementara itu, di Uni Eropa, masih ada kampanye negatif tentang sawit. Uni Eropa juga mengeluarkan CPO dari daftar energi terbarukan. Akibatnya, ekspor CPO dari Indonesia turun cukup signifikan di sejumlah negara kawasan Uni Eropa.
Nilai ekspor CPO ke Belanda turun dari 646 juta dollar AS pada Januari-Oktober 2017 menjadi 554 juta dollar AS pada Januari-Oktober 2018. Adapun ekspor ke Italia turun dari 584,9 juta dollar AS jadi 466 juta dollar AS.
Pada Jumat (23/11/2018), Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) telah menandatangani pernyataan bersama tentang berakhirnya negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (IE-CEPA). Melalui IE-CEPA, Indonesia, antara lain, menegosiasikan CPO dapat masuk ke empat negara anggota EFTA, yakni Swiss, Liechtenstein, Eslandia, dan Norwegia.
Dulu, nilai ekspor CPO ke EFTA sekitar 23.000 dollar AS. Pada 2017, nilainya meningkat menjadi 45 juta dollar AS. Setelah perjanjian itu, Kementerian Perdagangan memperkirakan ekspor CPO meningkat 80 persen.
Kendati nilainya kecil, ekspor CPO ke EFTA akan menjadi pintu diplomasi CPO ke negara-negara lain di kawasan Uni Eropa. CPO dan produk turunannya yang masuk ke EFTA telah memenuhi aturan standardisasi Swiss. Dengan penerimaan EFTA, citra positif CPO di negara-negara lain di Uni Eropa akan terbangun.
Ekspor CPO memang perlu terus didorong melalui penguatan negosiasi dengan negara-negara penghambat. Di sisi lain, Indonesia perlu menunjukkan citra positif pengelolaan CPO berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Tentu saja, tidak hanya ekspor CPO dan produk turunannya yang terus ditingkatkan. Ekspor produk-produk manufaktur lain yang bernilai tambah tinggi juga perlu ditumbuhkan. Peningkatan ekspor itu perlu diikuti dengan peningkatan daya saing dan ketersediaan bahan baku industri yang selama ini masih bergantung pada impor.
IE-CEPA dan kemitraan ekonomi dengan negara-negara atau kawasan regional lain tidak hanya menyangkut perdagangan barang. Kemitraan itu juga terkait perdagangan jasa dan investasi. Pemerintah telah membuka akses pasar, peluang investasi, dan kemitraan bisnis.
Untuk itu, pemerintah dan pelaku bisnis nasional diharapkan dapat memanfaatkan berbagai peluang tersebut. Peluang investasi itu, antara lain, membangun industri hulu dan perantara untuk substitusi impor, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi informasi guna meningkatkan nilai tambah atau daya saing produk, dan pengembangan pariwisata.