SOLO, KOMPAS--Usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM dicoret dari relaksasi daftar negatif investasi dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI. Pemerintah juga menegaskan komitmen untuk berpihak pada UMKM.
“Saya pastikan akan saya keluarkan urusan UMKM ini dari relaksasi DNI. Saya putuskan di sini,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada penutupan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Solo, Jawa Tengah, Rabu (28/11/2018).
Presiden mengaku belum menandatangani Peraturan Presiden tentang Paket Kebijakan Ekonomi XVI. “Nanti begitu masuk ke istana, ya sudah saya lihat dan coret saja,” katanya.
Presiden menambahkan, relaksasi DNI memang diperlukan. Akan tetapi, setelah berkomuniksi dan mendengarkan aspirasi dari jajaran Kadin dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, diputuskan untuk mengeluarkan urusan yang berkaitan dengan UMKM dalam relaksasi DNI. “Intinya jangan meragukan komitmen pemerintah, komitmen saya, pada UMKM,” tegasnya.
Presiden menambahkan, kontribusi UMKM bagi perekonomian Indonesia sangat signifikan. Saat ini ada sekitar 62 juta UMKM yang menyerap 116 juta pekerja.
“Ini jumlah yang sangat besar sekali. Artinya, lebih dari 80 persen tenaga kerja Indonesia di sektor UMKM, bahkan kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto Indonesia mencapai 60 persen,” kata Presiden.
Ketua Umum Kadin Rosan Perkasa Roeslani meminta pemerintah meninjau ulang relaksasi DNI, terutama yang berhubungan dengan UMKM. Permintaan itu berdasarkan masukan dari pelaku usaha di daerah serta dari asosiasi usaha.
Seusai penutupan Rapimnas, Rosan menyatakan, Kadin mengapresiasi keputusan Presiden. Kebijakan relaksasi DNI yang berkaitan dengan UMKM dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI telah menimbulkan banyak multitafsir sehingga menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha. Pelaku usaha khawatir bidang usaha UMKM bisa dimasuki 100 persen modal asing.
Kerja Sama
Secara terpisah, Wakil Ketua Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani, menyampaikan, upaya meningkatkan perjanjian bilateral, regional, dan multilateral perlu dilakukan di tengah arus proteksionisme. Kerja sama dengan negara lain bermanfaat ganda, karena antara lain terkait dengan keringanan bea masuk, perdagangan, jasa, dan investasi.
Pembukaan dan peningkatan akses pasar itu perlu dimanfaatkan pelaku usaha dan industri. Hal ini meningkatkan perdagangan barang serta peluang Investasi dan kemitraan bisnis.
"Peluang investasi itu antara lain membangun industri hulu dan perantara untuk substitusi impor, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi informasi guna meningkatkan nilai tambah atau daya saing produk, dan pengembangan pariwisata," ujarnya. (RWN/HEN)