Teman Nongkrong sampai Nyalon
Singgah di kedai gelato dan es krim pada siang yang terik adalah kenikmatan tiada tara. Menyendok es krim sambil berbincang dengan sahabat membuat hati terasa hangat. Apalagi, ada pilihan rasa tak biasa, dari yang murah sampai yang mahal, dari kelas ritel sampai gerai di mal. Lidah pun menari.
Ada gelato kecombrang berwarna merah muda dengan rasa asam menyegarkan yang dijajakan di Locarasa, kedai di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.
”Pada Senin hingga Jumat siang biasanya kedai ini ramai oleh orang-orang yang bekerja,” kata Head Barista and Roaster Locarasa Arif Pangestu yang ditemui di kedai itu, Rabu (21/11/2018).
Sekitar pukul 14.00, komputer jinjing berjajar di atas tiga meja. Pemiliknya duduk santai sambil bersandar di sofa. Jari-jari mereka menari-nari, menimbulkan bunyi samar-samar yang berirama, tik-tak-tik-tak.
Arif menuturkan, meski hari kerja, ada pengunjung yang bisa menghabiskan waktunya di depan komputer jinjing mulai kedai buka hingga tutup, yakni dari pukul 08.00 hingga 22.00 meskipun rata-rata waktu yang dihabiskan pengunjung di hari kerja selama delapan jam.
Kedai Locarasa, menurut Arif, didirikan untuk mengumpulkan orang-orang yang ingin mempererat hubungan dalam satu tempat. ”Secara pemasaran, gelato yang disuguhkan kepada pengunjung yang nongkrong di sini dapat diceritakan dari mulut ke mulut,” katanya.
Namun, tempat nongkrong kurang lengkap tanpa dinding yang bisa ditampilkan dalam swafoto. Maka, di beberapa bagian dinding ada kutipan yang dilukis, seperti ”Life is Sweet, Enjoy a Treat”.
Konsep nongkrong bersama gelato ini membuahkan hasil, yakni penjualan yang melonjak hingga empat kali lipat dari saat pertama kali dibuka pada 2016.
Keinginan menyediakan ruang untuk memperkuat silaturahmi juga dipegang Kedai Gentong. ”Target pasar kami adalah keluarga, terutama anak-anak. Semangat bisnis kami sesederhana membagikan kegembiraan lewat es krim,” tutur marketing Ice Cream Gentong, Rika Nisa Aulia, di Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Pengunjung, bersama keluarga mereka, biasanya datang pada akhir pekan. Pada hari kerja kumpul keluarga terjadi pada malam hari.
Untuk semakin mendekatkan es krim Gentong kepada anak-anak, kata Rika, pihaknya menyelenggarakan acara di kedai kira-kira dua bulan sekali. Karyawan-karyawan di sekitar Sunter, Jakarta Utara, turut meramaikan kedai itu pada siang di hari kerja, setidaknya untuk mencari pencuci mulut sesudah makan siang.
Selain memanjakan lidah, ada juga sejumlah orang yang datang ke kedai es krim Gentong untuk bekerja. Mereka bertemu di kedai untuk menjalin relasi dan membicarakan bisnis.
Jumlah pengunjung di akhir pekan melonjak menjadi 150 orang-170 orang per hari. Pada Senin-Jumat, kedai dikunjungi 90 orang-110 orang per hari.
Tahun depan, warga di Yogyakarta bisa menikmati es krim Gentong di kedai. ”Kami tengah menyurvei lokasinya,” ujar Rika.
Jaga kualitas
Di sisi lain, Häagen Dazs fokus menjaga kualitas untuk mempertahankan konsumen di segmen paling atas. ”Inovasi kami harus sejalan dan sesuai dengan induk perusahaan Häagen Dasz yang menomorsatukan kualitas,” kata pemilik Häagen Dazs Indonesia, Dita Soedarjo, yang ditemui di Jakarta, Rabu.
Menurut Dita, ia ingin memberikan sensasi pengalaman makan es krim yang berbeda kepada konsumennya. Oleh karena itu, Dita berkolaborasi dengan rekan-rekan sebayanya yang memiliki restoran dan salon agar es krim yang dia jual dapat dinikmati tidak sambil lalu, kemudian pergi. Misalnya, es krim dinikmati sambil duduk santai, ngobrol, atau malah sambil merawat tubuh di salon.
Selain itu, Dita kerap menggelar acara privat yang melibatkan maksimal 20-30 orang di gerai Häagen Dazs. ”Kami pernah mengadakan kelas rias wajah dan merangkai bunga,” ujarnya.
Saat ini, Häagen Dazs memiliki 35 gerai di Indonesia. Pada hari-hari kerja, pengunjungnya berkisar 400 orang-500 orang per hari di tiap gerai. Di akhir pekan pengunjung melonjak menjadi 700 orang-800 orang. Rata-rata pengunjung menghabiskan 3-5 jam di gerai.
Yang tak kalah seru adalah penjualan es krim di kelas ritel. Merek yang sedang tren di pasaran dengan harga yang lebih terjangkau masyarakat membuat penjualan es krim di warung kelontong milik Endang di Jakarta Barat meningkat.
”Labanya tidak terlalu besar, Rp 500-Rp 1.000 per es krim, tapi yang beli banyak. Cara bermitra juga enggak susah. Modal awalnya sekitar Rp 500.000, warung sudah dapat pinjaman lemari pendingin,” tutur Endang.
Witra Sari (26), warga Kota Bandung, Jawa Barat, punya kebiasaan nongkrong di kedai es krim. Nyaris semua kafe dan kedai di Kota Bandung dengan menu utama es krim sudah pernah dijajal Witra. Bagi dia, tak jadi soal jika kedai itu tak menyediakan Wi-Fi atau stop kontak. Sebab, tujuan utamanya adalah menikmati es krim.
”Saya dan beberapa teman memang suka es krim, jadinya kami kumpul-kumpulnya di tempat es krim,” ujar Witra, yang nongkrong di .Let’s Go Gelato, Bandung, selama dua jam.
Kedai yang baru dibuka pada 2016 ini menyediakan lebih dari 30 rasa es krim dengan nama dan rasa yang unik.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman melihat, pertumbuhan industri es krim menunjukkan tren positif. ”Belum ada angka pastinya. Namun, pertumbuhan itu dapat dilihat dari tambahan dua investor dalam industri es krim pada 2018,” katanya.
Pelaku industri juga menggarap pasar menengah ke bawah melalui ritel. Sementara pada konsumen menengah-atas, gaya hidup menopang pasar es krim. ”Pendorongnya adalah generasi milenial yang hobi nongkrong dan es krim menjadi salah satu produk yang menemani mereka,” katanya.
Es krim telah beradaptasi menjadi menu utama dalam gaya hidup, bukan lagi sekadar pendamping.