JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia melihat kondisi perekonomian global tumbuh melandai dan tidak seimbang, disertai ketidakpastian keuangan global yang masih tinggi. Bank Indonesia merespons kondisi tersebut dengan menaikkan suku bunga acuan, melonggarkan porsi pemenuhan giro wajib minimum rata-rata, dan meningkatkan rasio penyangga likuiditas.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 14-15 November 2018 memutuskan, suku bunga acuan BI naik 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Adapun suku bunga lending facility atau pinjaman rupiah bank dari BI juga naik 25 bps menjadi 6,75 persen dan suku bunga deposit facility atau simpanan rupiah bank di BI naik 25 bps menjadi 5,25 persen.
RDG BI juga memutuskan untuk menaikkan porsi pemenuhan giro wajib minimum (GWM) rata-rata bank konvensional dan syariah dari 2 persen menjadi 3 persen dari dana pihak ketiga (DPK). Rasio penyangga likuiditas makroprudensial (LPM) bank konvensional dan syariah dinaikkan dari 2 persen menjadi 4 persen dari DPK.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (15/11/2018), mengatakan, keputusan menaikkan suku bunga acuan itu merupakan langkah lanjutan BI menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas aman, yakni di bawah 3 persen produk domestik bruto (PDB).
Dengan kenaikan suku bunga acuan BI, daya tarik aset keuangan domestik semakin kuat sehingga dapat mengantisipasi kenaikan suku bunga global.
Adapun pelonggaran GWM rata-rata dan rasio LPM bertujuan meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas antarbank. Dengan kebijakan itu, perbankan dapat semakin fleksibel mengelola likuiditas dan merepokan surat berharga yang dimiliki kepada bank lain untuk menambah likuiditas. Repo adalah transaksi penjualan instrumen efek dengan perjanjian akan dibeli kembali.
”Kami juga akan memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal. Koordinasi itu termasuk untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan agar turun di kisaran 2,5 persen PDB pada 2019,” katanya.
BI mencatat, defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018, yang sebesar 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB, meningkat sejalan dengan permintaan domestik yang menguat. Defisit itu lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan II-2018 yang sebesar 8 miliar dollar AS atau 3,02 PDB.
Menurut Perry, kebijakan BI tersebut untuk merespons kondisi ketidakpastian global. Perekonomian AS memang tumbuh kuat, tetapi ekspetasi inflasinya tetap tinggi, sehingga Bank Sentral AS diperkirakan tetap menaikkan suku bunga acuan.
Perekonomian Eropa dan China diperkirakan tumbuh lambat. Di sisi lain, volume perdagangan dunia diperkirakan akan rendah karena hubungan dagang antarnegara yang memburuk.
”Kendati ekonomi Indonesia tetap tumbuh kuat, kondisi global itu berdampak pada penurunan kinerja ekspor. Permintaan global melemah, tetapi permintaan domestik kuat. Hal itu ditunjukkan dari peningkatan impor,” katanya.
Antisipasi
Kepala Ekonom dan Riset UOB Indonesia Enrico Tanuwidajaja menilai kebijakan menaikkan suku bunga acuan BI merupakan respons dan langkah antisipasi BI terhadap rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed, pada Desember 2018. Kebijakan itu juga merupakan upaya BI mengantisipasi kondisi likuditas global yang mengetat akibat kenaikan suku bunga global.
Kebijakan pengetatan moneter akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Namun, BI membuat bauran kebijakan dengan melonggarkan ketentuan GMW rata-rata dan LPM.
”Bank akan semakin fleksibel mengelola likuiditas. Selain itu, bank juga akan semakin fleksibel mendapatkan likuiditas dari bank-bank lain,” katanya.
Menurut Enrico, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain likuiditas dollar AS di pasar keuangan global lebih ketat, sehingga aliran dana portofolio ke negara berkembang mungkin melambat.
Tantangan lain, kendati nilai tukar rupiah stabil di posisi tertentu, hal itu diperkirakan tetap berat untuk bisa sampai pada level Rp 14.000 per dollar AS. Hal lain berupa kebijakan fiskal dan moneter yang lebih ketat akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan melambat.
”Selain itu, ekspor juga akan mendapatkan tantangan, kendati ada harapan positif dari rencana penyelesaian perang dagang perdagangan AS-China dalam pertemuan G-20 pada akhir bulan ini. Pertumbuhan ekonomi China yang melambat akan menjadi tantangan pertumbuhan ekspor selanjutnya,” ujarnya.
Enrico berharap agar kebijakan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait menjaga stabilitas rupiah perlu terus dilakukan di tengah ketidakpastian keuangan global. Selain itu, kebijakan mengurangi kandungan impor serendah mungkin untuk beberapa industri akan mempersempit defisit transaksi berjalan.
”UOB memperkirakan defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 menyempit menjadi 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan pada 2019 menjadi 2,5 persen PDB,” ujarnya.