JAKARTA, KOMPAS - Pergerakan nilai tukar rupiah belum berdampak signifikan terhadap investasi dan transaksi kegiatan operasional operator telekomunikasi. Meski begitu, kinerja operator kini berada dalam tekanan persaingan ketat layanan dan konsekuensi kebijakan wajib registrasi nomor prabayar.
Direktur Keuangan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Heri Supriadi, Jumat (9/11/2018), di Jakarta, mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang terjadi belakangan tidak berdampak signifikan terhadap kinerja perusahaan. Sebab, sejak aktivitas pengadaan barang, mayoritas transaksi telah dilakukan dalam mata uang rupiah sesuai anjuran Bank Indonesia.
"Mayoritas kontrak kerja dengan vendor bersifat jangka panjang sehingga harapannya exposure kenaikan nilai tukar rupiah sudah terjaga. Kalaupun kondisi nilai tukar tidak kunjung segera membaik, Telkomsel bersama vendor telah menyusun strategi pengelolaan risiko," kata dia.
Untuk investasi, Heri menyebut keseluruhan transaksi yang dilakukan dalam bentuk dollar AS berkisar 10 persen. Sementara itu, transaksi kegiatan operasional yang memakai dollar AS berkisar dua hingga tiga persen.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia Ririek Adriansyah mengatakan, secara industri, para operator berada dalam tekanan pasca penerapan kebijakan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data kependudukan. Selain itu, industri tengah menghadapi persaingan ketat, seperti perang harga layanan.
Berdasarkan laporan riset Deutsche Bank Indo Pulsa:Mega Trend (1 November 2018), pada triwulan III-2018, pendapatan data Telkomsel mencapai Rp 12,5 triliun atau naik 24 persen dibanding setahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan data ini lebih tinggi dibanding operator lain, seperti XL Axiata. Pada triwulan III-2018, XL Axiata membukukan pendapatan data sebesar Rp 3,8 triliun atau naik 7 persen dibanding setahun sebelumnya.
Laporan itu menyebutkan, pada triwulan III-2018, pangsa pasar pendapatan kotor Telkomsel mencapai rekor tertinggi, yakni 66,5 persen. Operator ini disebut "mengambil" bagian dari Indosat Ooredoo dan XL Axiata. Nilai belanja modal dan kondisi infrastruktur jaringannya berada di urutan teratas. Wilayah Jawa yang biasa menjadi konsentrasi pendapatan utama XL Axiata ataupun Indosat Ooredoo diketahui juga mendukung pertumbuhan Telkomsel.
Mengenai pergerakan harga saham operator, laporan tersebut menyebutkan beberapa faktor, antara lain risiko tren makro ekonomi yang memburuk, perubahan peraturan yang tidak simetris, dan persaingan tidak rasional. Risiko tren makro ekonomi yang dimaksud meliputi suku bunga lebih tinggi dan peningkatan volatilitas mata uang.
Oleh karenanya, peringkat beli dan harga tertinggi saham Telkom dipertahankan sebesar Rp 4.375, sementara XL Axiata sesear Rp 3.400. Adapun, peringkat jual dan harga tertinggi saham Indosat Ooredoo dipertahankan sebesar Rp 2.200.
Vice President dan Analis Senior Moody\'s Nidhi Dhruv mengatakan, semua pasar layanan telekomunikasi seluler di Asia Pasifik tengah mengalami persaingan ketat. "Kompetisi akan semakin kuat pada tahun 2019," ujarnya.
Mengutip laporan riset Moody\'s "Telecommunication, Asia Pacific:2019 Outlook", Nidhi menjelaskan rata-rata pertumbuhan pendapatan operator di 11 negara Asia Pasifik turun menjadi antara 3,0 hingga 3,5 persen pada 2019. Pada tahun 2017, rata-rata pertumbuhan pendapatan yaitu 3,9 persen.
Teknologi 4G LTE masih tetap dipakai, di samping bersiap mengimplementasikan 5G. Tingginya pengembalian pemegang saham serta peningkatan belanja modal akan menekan pembentukan arus kas. Akibatnya, perusahaan bakal mengupayakan diversifikasi pendapatan.