JAKARTA, KOMPAS--Nilai tukar rupiah menguat di tengah-tengah penguatan dollar AS secara global dan imbal hasil obligasi Pemerintah Amerika Serikat tenor 10 tahun. Pasokan valuta asing dari investor asing melalui pembelian surat berharga negara terus mengalir.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin (5/11/2018), nilai tukar sebesar Rp 14.972 per dollar AS. Rupiah meninggalkan level Rp 15.000-an per dollar AS, yang dialami sejak 3 Oktober 2018.
Pada 3 Oktober, nilai tukar pada posisi Rp 15.088 per dollar AS. Pada 11 Oktober, nilai tukar menyentuh Rp 15.253 per dollar AS, posisi terlemah sejak awal tahun ini.
Di pasar tunai, rupiah diperjualbelikan di kisaran Rp 14.967 per dollar AS-Rp 14.987 per dollar AS. Sejak Januari hingga 5 November 2018, rupiah terdepresiasi 10,49 persen.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah, Senin, mengatakan, dollar AS sebenarnya tengah menguat. Penguatan itu seiring kondisi perekonomian AS yang kian membaik, terutama dari sektor ketenagakerjaan.
Data Non-Farm Payroll Change atau US Payroll menyebutkan, pada Oktober 2018, sebanyak 250.000 lapangan kerja tercipta. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan, laju pertumbuhan pengangguran AS masih stabil pada level 3,7 persen, sedangkan rerata pertumbuhan upah per jam 0,3 persen.
"Hal itu akan berpengaruh pada suku bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate (FFR), yang diperkirakan naik pada Desember tahun ini. Kendati rupiah menguat, masih akan ada tekanan karena dampak kenaikan FFR bagi negara-negara berkembang sudah terlalu dalam," ujarnya.
Menurut Nanang, rupiah menguat karena suplai dan permintaan valuta asing (valas) di dalam negeri sudah mulai berimbang. Pasokan valas dari investor asing melalui pembelian surat berharga negara Rp 3,05 triliun per Senin.
Investor global melihat ada kesempatan untuk masuk lagi ke negara-negara berkembang karena tingkat valuasi aset negara-negara berkembang cukup atraktif. Hal itu akan berlanjut jika faktor risiko tekanan sengketa dagang AS-China mulai menemukan titik temu.
"Di dalam negeri, fluktuasi pasar akan ditentukan oleh dinamika neraca pembayaran. Secara keseluruhan defisit transaksi berjalan akan di bawah 3 persen produk domestik bruto hingga akhir 2018. Defisit ini akan terus turun pada 2019 karena komponen transaksi berjalan akan mengalami penyesuaian sebagai respons atas langkah pemerintah dan BI," ujarnya.
Nanang menambahkan, pergerakan rupiah diperkirakan tetap merespons dinamika global dan domestik. Namun, gerakan itu akan lebih terkendali dan pelemahannya tidak akan seperti Februari dan September 2018.
Mereda
Menurut PT Bahana TCW Investment Management, memasuki triwulan IV-2018, tekanan terhadap pasar finansial di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, berangsur mereda. Hal itu terlihat dari arus modal asing yang kembali masuk ke pasar obligasi dan saham.
Sepanjang pekan lalu, investor asing membukukan beli bersih Rp 1,3 triliun di pasar saham. Di pasar obligasi, arus modal asing yang masuk Rp5,86 triliun.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, arus modal asing kembali masuk karena sentimen investor terhadap negara berkembang menjadi lebih baik. Selain itu, valuasi pasar negara berkembang sudah murah.
Sementara itu, pelaku usaha menekankan pentingnya stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. "Untuk sementara ini kami masih melihat situasi dan kondisi, yakni apakah ini stabil atau akan naik atau turun lagi," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman, Senin.
Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (Aisi) Sigit Kumala mengatakan, stabilitas nilai tukar rupiah akan memudahkan pelaku usaha dalam mengkalkulasi bisnis. (HEN/CAS)