JAKARTA, KOMPAS--Rupiah menguat dalam empat hari terakhir, kendati masih di kisaran Rp 15.000 per dollar AS. Faktor eksternal, seperti rencana penyelesaian perang dagang Amerika Serikat-China, dan masuknya arus modal asing menjadi faktor utama penguatan rupiah.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (2/11/2018), nilai tukar sebesar Rp 15.089 per dollar AS. Pada Selasa (30/10), nilai tukar sempat menyentuh Rp 15.237 per dollar AS.
Di pasar tunai, rupiah diperdagangkan pada Rp 14.955-Rp 15.100 per dollar AS. Pada Januari-2 November 2018, rupiah terdepresiasi 10,33 persen.
Kepala Departemen Pendalaman Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menyampaikan, penguatan rupiah dipengaruhi optimisme pasar terhadap rencana pertemuan perwakilan AS dan China dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Argentina pada November ini, untuk mengakhiri perang dagang. Hal itu terjadi setelah Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping berbicara melalui telepon, Kamis lalu.
Pasar juga merespons positif kesepakatan Uni Eropa (UE) dan Inggris tentang Brexit yang memungkinkan perusahaan jasa keuangan Inggris memiliki akses ke UE. Respons melalui penjualan dollar itu memperkuat mata uang asing negara-negara lain, terutama negara berkembang.
"Selain itu, penguatan rupiah dipicu arus modal asing ke pasar sekunder obligasi negara yang berlanjut. Hal itu memengaruhi bank-bank domestik melepas dollar AS ke pasar. Selama Oktober 2018, arus masuk modal asing ke pasar sekunder obligasi negara mencapai Rp 15,14 triliun, sedangkan pada Jumat sebesar Rp 2,1 triliun,” kata dia.
Menurut Nanang, pembelian surat berharga negara oleh investor asing menyebabkan imbal hasil obligasi 10 tahun turun dari level tertinggi, yakni 8,79 persen, menjadi 8,46 persen. Namun, imbal hasil riil obligasi masih tinggi, yaitu 5,46 persen, sehingga masih menarik minat investor asing.
Mengatasi defisit
Dalam Kajian Ekonomi Agustus-September 2018, Tim Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyebutkan, perang dagang AS-China dan pengetatan moneter global menjadi tantangan terbesar negara-negara berkembang. Perang dagang juga dapat memengaruhi perekonomian Indonesia secara langsung maupun tidak langsung.
Head of Industry Office of Chief Economist Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan, berbagai upaya perlu dilakukan agar defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan tidak semakin lebar. Pertama, Indonesia harus melakukan negosiasi perdagangan yang lebih intensif ke negara-negara yang menyebabkan neraca perdagangan Indonesia defisit besar, terutama China, Australia, Singapura, dan Thailand.
Kedua, atasi hambatan-hambatan perdagangan terutama dengan UE dan India. Pengecualian biodiesel dari energi terbarukan di UE akan menurunkan permintaan minyak sawit mentah (CPO) sebesar 2,7 juta ton. Adapun India, dengan menaikkan bea masuk CPO dan produk turunan, ingin memanfaatkan kekuatan tawarnya atas Indonesia.
“Ketiga, promosikan ekspor dengan cara mendorong kapasitas yang kurang dimanfaatkan dari beberapa industri seperti otomotif, tekstil, dan kayu lapis. Tujuan utama adalah menemukan pasar baru untuk produk-produk yang tidak memerlukan investasi tambahan,” ujarnya.
Adapun keempat, lanjutnya, kurangi impor dengan memberdayakan industri berorientasi pasar domestik seperti farmasi, petrokima, dan besi-baja. Hal itu perlu diikuti pula dengan memperkuat industri-industri penopangnya.