Rencana Penghapusan Pajak Rumah Mewah, Pengembang Menahan Diri
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rencana penghapusan pajak rumah mewah merupakan angin segar bagi penjualan properti di segmen menengah ke atas. Namun demikian, pengembang memilih menahan diri sebelum mengambil langkah spesifik dalam merespons rencana tersebut.
Penjualan rumah mewah selama ini dibebani pajak ganda, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) 22 dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnB). Hal ini membuat nilai pajak properti mencapai 30 persen di atas harga produk.
Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, Rabu (24/10/2018), mengatakan, rencana tersebut tepat untuk menumbuhkan penjualan rumah atau apartemen di atas Rp 5 miliar. "Pasar ini akan jalan dan tidak akan ditinggalkan pengembang," ujarnya.
Pengamat properti Tanto Kurniawan mengatakan, pengumuman terkait rencana penghapus pajak tersebut bisa dimanfaatkan pengusaha properti untuk mengambil ancang-ancang dalam meluncurkan produk hunian mewah.
Meski segmen properti mewah tidak terlalu besar dibandingkan rumah menengah dan kecil, Tanto mengatakan, segmen tersebut terus berkembang dan memiliki pasarnya sendiri. Motif masyarakat membeli properti mewah adalah untuk dipakai sendiri atau investasi yang memanfaatkan kenaikan harga dan terbatasnya produk.
Tanto menilai, pemberlakuan penghapusan pajak tidak akan serta merta memberikan dampak bagi industri properti. "Dampak dari peraturan baru itu mungkin baru mulai dirasakan akhir 2019 atau setelah pemilu usai," ujarnya.
Direktur PT Ciputra Development Harun Hajadi mengaku masih menahan diri untuk menanggapi relaksasi aturan pajak itu. "Mengetahui aturannya masih digodok, kami lebih memilih menunggu sampai aturannya keluar," kata dia.
Insentif pajak ganda properti, yang tengah dikaji Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Pajak, juga dinilai akan menggairahkan bisnis properti yang stagnan dua tahun terakhir.
Beberapa faktor melambatnya industri properti antara lain, memburuknya perekonomian dunia dua tahun terakhir, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, serta masuknya tahun politik 2019.
Albert Luhur selaku Executive Director PT Summarecon Agung Tbk mengatakan, perusahaannya tidak banyak mengeluarkan produk hunian mewah karena pengaturan pencairan kredit dari bank dan pajak properti yang terlalu tinggi.
Faktor tersebut membuat penjualan properti oleh Summarecon turun dari tahun 2015 hingga 2018. Salah satu produk properti mewah yang dikelola Summarecon adalah apartemen Kensington Royal Suite di Kelapa Gading, Jakarta.
PPh 22 dan PPnB adalah pajak tambahan yang diberikan kepada pengembang dan atau konsumen atas pembelian barang mewah. Pajak tersebut dinilai berdasarkan harga properti dan luas bangunan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017, rumah dan town house jenis non strata title dengan harga jual sebesar Rp 20 miliar atau lebih, dan apartemen, kondominium, town house jenis strata title dengan harga jual minimal Rp 10 miliar menjadi objek PPnBM sebesar 20 persen.
Sementara itu, menurut PMK Nomor 90/PMK.03/2015, objek pajak PPh 22 adalah rumah dengan harga jual atau lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi, dan apartemen dengan harga jual lebih senilai Rp 5 miliar atau luas bangunan di atas 150 meter persegi. (ERIKA KURNIA)