JAKARTA, KOMPAS – Transaksi ritel penukaran uang relatif tidak meningkat signifikan. Masyarakat masih cenderung menggunakan dollar AS dan valuta asing sesuai kebutuhan. Penjualan dollar AS diperkirakan baru meningkat dua bulan ke depan, seiring kebutuhan masyarakat untuk berlibur.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar sebesar Rp 15.221 per dollar AS pada Jumat (19/10/2018).
Pantauan Kompas, Sabtu (20/10/2018) di tiga gerai penukaran uang (money changer) di Jakarta, nilai tukar jual dollar berkisar Rp 15.200—Rp 15.280. Adapun kurs beli dollar AS berkisar Rp 15.000—Rp 15.100.
Kepala Pemasaran Rezky Money Changer (RMC) Ida mengatakan, jual beli dollar AS di gerainya yang berlokasi di Slipi, Jakarta Barat, cenderung sama. Saat nilai tukar rupiah berkisar Rp 13.000—Rp 14.000 per dollar AS, RMC dapat membeli sekitar 20.000 dollar AS dalam satu bulan. “Paling-paling, dalam sehari orang jual 200—500 dollar AS. Enggak dalam jumlah besar, jadi hampir enggak ada perubahan,” kata Ida.
Ida memperkirakan, pada akhir tahun, masyarakat akan menukarkan uang. “Biasanya terjadi di bulan Desember karena orang-orang akan pergi berlibur. Kalau Oktober kayak sekarang, sih, biasa aja karena orang beli sesuai kebutuhan,” paparnya.
Senada dengan Ida, Kepala Human Resources Development Bali Inter Money Changer (BIMC) Ferdy mengatakan, tidak ada lonjakan pembelian dollar AS oleh masyarakat. Kurs beli yang ditetapkan BIMC pada Sabtu siang adalah Rp 15.000 per dollar AS.
“Sekarang agak sepi. Tergantung kebutuhan orang aja, kalau butuh dollar, ya, mereka tetap beli meskipun sampai Rp 15.280. Sejauh ini, orang beli dollar AS untuk investasi dan jalan-jalan ke luar negeri. Ada juga yang buat bayar sekolah di luar negeri,” ujar Ferdy saat ditemui di gerai BIMC Plaza Senayan, Jakarta Pusat.
Gerai Pelangi Money Changer di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, juga tidak mencatat pembelian dollar AS dalam jumlah besar. Kasir Pelangi Money Changer, Komang, mengatakan, sebelum rupiah mencapai Rp 15.000 per dollar AS, gerainya dapat membeli 10.000 dollar AS dalam sehari. Jumlah itu tidak berubah sejak awal Oktober.
“Klien kami biasanya perusahaan, jadi jumlah dollar AS yang dijual besar. Kalau buat perseorangan, sejauh ini cenderung sedikit. Orang beli sesuai kebutuhan aja, misalnya mau pergi liburan karena udah terjadwal ikut tur,” ujarnya.
Haidir (40) menukarkan dollar Singapura di Pelangi Money Changer dengan kurs jual Rp 11.000.
“Saya cuma tukar 3.000 dollar Singapura, dapat sekitar Rp 33 juta. Selama ini saya pegang aja, saya jual karena kebetulan rupiah lagi lemah. Nanti mau dibuat belanja,” kata Haidir.
Ekonom dan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, ada tiga alasan masyarakat belum merespons pelemahan rupiah terhadap dollar AS dengan menjual dollar AS dalam jumlah besar. Pertama, pelemahan rupiah diperkirakan berlanjut hingga 2019 seiring kenaikan suku bunga acuan AS.
“Masyarakat berspekulasi, rupiah belum sampai ke titik nilai keuntungan yang terbesar. Titik keseimbangan belum terlihat. Kalau nanti sudah sampai Rp 15.500, baru masyarakat mulai menjual dalam jumlah besar,” kata Bhima.
Kedua, percepatan pelemahan rupiah jauh lebih lambat dibandingkan dengan saat krisis moneter 1998, sehingga pemegang dollar AS dapat mempersiapkan diri. Ketiga, konsumsi rumah tangga melambat seiring pelambatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, masyarakat mengurangi bepergian ke luar negeri.
Bhima menambahkan, ada faktor harga kebutuhan pokok impor masih terkendali. “Ada jeda di sektor bahan pangan. Kedelai impor dari AS atau Argentina, misalnya, butuh 75-100 hari untuk masuk ke Indonesia. Akibat pelemahan rupiah di sektor riil, mungkin baru dapat dilihat dalam dua bulan ke depan, terutama seiring kenaikan harga BBM,” kata Bhima. (Kristian Oka Prasetyadi)