Pergerakan Rupiah Masih Terjaga
JAKARTA, KOMPAS--Fluktuasi nilai tukar rupiah relatif terjaga selama pekan ini, kendati masih berkisar Rp 15.000-an per dollar AS. Di sisi lain, pasar keuangan global cenderung masih bergejolak.
Pergerakan nilai tukar rupiah yang terjaga itu dipengaruhi dua faktor utama, yaitu dana asing yang masuk cukup besar serta pasokan dan pembelian devisa yang relatif berimbang.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar pada posisi Rp 15.221 per dollar AS pada Jumat (19/10/2018). Di pasar tunai, rupiah diperdagangkan di kisaran Rp 15.184 per dollar AS-Rp 15.225 per dollar AS. Sejak awal tahun ini hingga Jumat, rupiah terdepresiasi 12,04 persen.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah, Jumat, mengatakan, selama sepekan, rupiah terjaga di level Rp 15.150 per dollar AS-Rp 15.240 per dollar AS. Faktor global masih menjadi penyebab utama gejolak rupiah dan mata uang dunia lainnya.
Faktor global itu antara lain rilis hasil pertemuan komite kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat yang menegaskan perlunya kenaikan suku bunga lebih lanjut dan lebih tinggi dari level netral, serta meningkatnya suku bunga London Interbank Offered Rate tenor 3 bulan.
Faktor lain adalah risiko geopolitik di Eropa yang kian memanas, terkait penolakan rencana fiskal Pemerintah Italia oleh Komisi Uni Eropa. Faktor yang tak kalah berpengaruh adalah ketegangan politik AS dan Arab Saudi terkait pembunuhan jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi.
“Di dalam negeri, pasokan dan pembelian devisa relatif lebih berimbang. Kendati belum optimal, pasokan devisa dari eksportir tetap mengalir, terutama dari eksportir minyak sawit mentah. Arus modal asing ke pasar sekunder obligasi pemerintah juga makin meningkat,” kata dia.
Menurut Nanang, di tengah kondisi likuditas valuta asing (valas) global yang mengetat, ada persaingan antara negara-negara berkembang untuk menarik modal asing masuk ke pasar keuangan. Hal itu dilakukan negara-negara berkembang yang mengalami defisit transaksi berjalan.
Kendati demikian, Indonesia mampu mengundang modal asing masuk ke pasar sekunder Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2,54 triliun selama sepekan ini. Imbal hasil obligasi Indonesia itu sukup menarik bagi investor asing ketimbang sejumlah negara lain.
“Selisih imbal hasil SBN tenor 10 tahun dan imbal hasil obligasi Pemerintah AS tenor 10 tahun sempat mencapai 532 basis poin (bps), lebih tinggi dari yang ditawarkan obligasi Pemerintah Filipina (482 bps) dan India (473 bps),” ujarnya.
Tetap waspada
Nanang menambahkan, BI tetap meningkatkan kewaspadaan di tengah rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan tensi perang dagang AS-China yang meningkat. BI juga telah meminta korporasi-korporasi, terutama yang memiliki kewajiban dalam valas, agar mengelola risiko melalui lindung nilai. BI juga hadir di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Untuk menjaga jaring pengaman keuangan, BI memperkuat kerja sama bilateral dengan bank sentral Singapura, China, Jepang, dan Inggris dalam Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, pekan lalu.
Kamis lalu, Pemerintah dan Badan Anggaran DPR menyepakati perubahan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam postur sementara RAPBN 2019, dari Rp 14.500 menjadi Rp 15.000. Sementara, beberapa ekonom menyebutkan nilai tukar rupiah pada level Rp 15.000-an per dollar AS merupakan titik keseimbangan baru. Perubahan asumsi nilai tukar dalam R-APBN 2019 menjadi Rp 15.000 juga dinilai sudah pas karena mencerminkan fundamen Indonesia.
Head of Industry and Regional Research Department Office of Chief Economist Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan, asumsi nilai tukar Rp 15.000 cukup realistis dan mencerminkan kemungkinan keadaan tahun 2019. Kendati demikian, depresiasi rupiah yang tengah berlangsung saat ini dan nanti, akan mengganggu sektor industri yang memiliki konten impor tinggi.
"Industri-industri itu antara lain industri petrokimia, plastik, farmasi, serta besi dan baja. Kenaikan bahan baku impor industri-industri itu berpotensi menyebabkan kenaikan harga produk dan menekan keuntungan perusahaan," ujarnya.
Menurut Dendi, hal itu bisa berdampak pada inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1 persen pada 2018 dan 2019.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan tetap, bahkan ada kemungkinan lebih rendah daripada tahun ini. Sebab, tekanan eksternal masih terus berlanjut," kata dia.
Di dalam negeri, lanjut Dendi, ancaman inflasi diperkirakan karena harga bahan bakar minyak. (HEN)