Harga komoditas batubara pernah mengalami tren penurunan pada 2015 sampai dengan awal 2016, hingga menjadi sekitar 50 dollar AS per ton. Penurunan harga batubara itu sempat membuat kinerja industri alat berat merosot karena penjualan alat berat berkurang.
Namun, pada 2016, harga batu bara kembali merangkak naik, hingga mencapai lebih dari 100 dollar AS per ton. Meskipun berfluktuasi, akan tetapi harga batubara masih bertahan pada kisaran 100 dollar AS per ton pada 2018.
Harga batu bara yang relatif masih baik mendorong ekspor terus digenjot. Saat ini, ekspor batubara mencapai 70-80 persen dari total produksi.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia serta Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batubara pada 2017 sebanyak 461 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 364 juta ton diekspor dan 97 juta ton untuk pasar domestik.
Produksi dan ekspor tahun 2017 itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2016. Pada 2016, produksi sebanyak 434 juta ton, yang sebanyak 344 juta ton di antaranya diekspor dan 90 juta ton dipasarkan di dalam negeri.
Belajar dari tren harga komoditas dunia yang kerap kali tak menentu, ekspor mentah komoditas, seperti batubara, sebaiknya semakin dikurangi. Sebaliknya, komoditas primer seperti batubara perlu dimanfaatkan lebih maksimal untuk memberi nilai tambah di dalam negeri.
Manfaat yang bisa dimaksimalkan, antara lain, memanfaatkan batubara untuk kebutuhan pembangkit tenaga listrik, terutama di daerah. Dengan pertumbuhan pasokan listrik di daerah, seperti di luar Jawa, termasuk Indonesia bagian timur, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diharapkan dapat menarik investasi untuk menumbuhkan industri di daerah.
Pertumbuhan industri di daerah lebih mampu menjaga fundamen perekonomian dan mengurangi defisit transaksi berjalan dari berbagai produk ekspor yang bisa dihasilkan. China termasuk negara yang cukup melindungi kekayaan batubaranya untuk kepentingan domestik, terutama industrialisasi di berbagai provinsi. Dalam perkembangannya, China mampu mengembangkan industri besar dan mampu menguasai pasar dunia saat ini.
Dalam sebuah diskusi pekan lalu, Anggota Dewan Energi Nasional Tumiran sempat menyebutkan, selama ini China memanfaatkan sumber daya alam dan mineral, seperti batubara dan gas, untuk kepentingan dalam negeri, yaitu membangun pembangkit listrik dan industri. Dengan demikian, industri China tumbuh dan berkembang seperti saat ini.
Peran pemerintah daerah, tidak hanya pemerintah pusat, sangat penting untuk membangun pembangkit listrik dan memanfaatkan batubara untuk pembangunan industri di daerah. Jika industri tumbuh, produk-produk industri dapat diekspor untuk mendatangkan devisa. Dengan demikian, ekspor tidak hanya mengandalkan komoditas primer, seperti batubara.
Sesuai rencana umum energi nasional, produksi batubara sebenarnya akan dibatasi, yakni sebanyak 400 juta ton pada 2019. Pembatasan seperti itu memang tak mudah diimplementasikan. Alasannya ada berbagai faktor, di antaranya legalitas dan pengawasan.
Dalam sasaran pokok pembangunan, seperti dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sasaran produksi batubara pada 2019 ditetapkan sebanyak 442 juta ton dari basis produksi 2014 yang sebanyak 397 juta ton. Penggunaan batu bara dalam negeri ditetapkan sekitar 32 persen pada 2019, dari dasar perhitungan pada 2014 yang sebanyak 24 persen.
Jika jumlah produksi dibatasi, maka produksi batubara dapat dimanfaatkan lebih maksimal untuk memenuhi kebutuhan domestik, terutama memasok kebutuhan energi pembangkit listrik. Atau, pilihan lain, membangun pembangkit listrik yang baru berbasis teknologi sehingga lebih efisien dan berbiaya murah. Melalui energi listrik yang tersedia, peluang industri untuk tumbuh menjadi semakin besar. (Ferry Santoso)