Perlindungan Pekerja Migran Dinilai Kurang Optimal
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia yang mulai diterapkan Agustus 2017 dinilai masih banyak kekurangan. Sejumlah pihak menilai aturan tersebut belum melindungi pekerja migran.
Mereka berharap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, selaku operator atau pelaksana peraturan tersebut, meningkatkan layanannya sehingga perlindungan terhadap pekerja migran menjadi lebih optimal.
"Aturan itu memang menjadi bukti bahwa negara hadir dalam melindungi para pekerja migran. Namun, perlindungan yang diberikan tidak sebesar asuransi yang diberikan swasta sebelumnya. Oleh karena itu, kami berharap BPJS Ketenagakerjaan bisa meningkatkan lagi layanannya," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia, Kausar N Tanjung, dalam Simposium Program Perlindungan Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia di Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Menurut Kausar, selama kurun waktu tahun 2014-2016, persoalan terbanyak yang dihadapi para pekerja migran adalah pemulangan dan pemutusan hubunga kerja. Sementara yang ditanggung dalam Program Perlindungan Sosial Pekerja Migran hanyalah masalah kecelakaan kerja, kematian, dan jaminan hari tua.
"Persoalan yang dihadapi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak hanya saat penempatan, tetapi juga prapenempatan dan pascapenempatan. Dan selama penempatan, persoalan yang dihadapi juga sangat banyak," ujar Kausar.
Lili dari Peduli Buruh Migran juga mengatakan, risiko paling besar yang ditanggung oleh TKI adalah pemutusan hubungan kerja, pemulangan, dan sakit. "BPJS belum melayani masalah itu. Kalau ada yang sakit, lalu harus dipulangkan, siapa yang harus menanggung tiketnya. Kami usulkan, BPJS menggandeng pihak lain, apabila belum mampu menanggung semua risiko," kata Lili.
Namun demikian, Lili memuji adanya Jaminan Hari Tua. Dengan jaminan ini, TKI bisa menabung dan berinvestasi untuk hari tuanya. Jadi uangnya tidak habis saat mereka masih bekerja.
Terima masukan
Sedangkan Savitri Wisnuwardhani dari Jaringan Buruh Migran mengatakan, yang paling penting adalah bagaimana program ini bisa diketahui dan dijangkau oleh pekerja informal.
"Ada banyak pekerja migran yang bekerja informal dimana mereka tidak punya waktu atau izin untuk keluar dari tempat kerjanya. Padahal untuk mendapatkan manfaat dari program ini, pekerja harus melengkapi persyaratan yang cukup banyak seperti surat keterangan dari Kedutaan Besar Indonesia, dari rumah sakit dan sebagainya. Bagaimana mereka bisa melengkapi persyaratannya jika keluar rumah saja tidak bisa," kata dia.
Dwi Tantri dari perwakilan buruh migran di Taiwan mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan tidak memberikan perlindungan yang sama dengan Asuransi Konsorsium yang sebelumnya yang diikuti oleh pekerja migran. Namun BPJS memberikan beasiswa bagi anak TKI yang meninggal dunia. "Yang kami inginkan bukan beasiswa, tetapi jaminan sekolah. Lagi pula kami ingin, jaminan sekolah ini tidak hanya untuk satu anak, tetapi kalau bisa lebih dari satu anak," kata Tantri.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan, mengakui penerapan program Perlindungan Sosial Pekerja Migran ini masih belum memuaskan para pemangku kepentingan. "Masih ada kekurangan. Oleh karena itu, kami menyelenggarakan simposium ini untuk mendapatkan masukan dari mereka," kata Agus.
Agus menilai, program ini akan lebih terlaksana baik jika ada perwakilan BPJS di luar negeri. Selama ini karena tidak ada perwakilan di luar negeri, seringkali koordinasinya menjadi sulit. "Kami akan berdiskusi dengan Kementerian Luar Negeri untuk masalah ini," ujar dia.