NUSA DUA, KOMPAS--Minat pelaku usaha untuk menyelesaikan sengketa niaga melalui jalur arbitrase meningkat. Namun, pelaksanaan putusan arbitrase masih terhambat akibat kapabilitas arbiter yang terbatas dan mentalitas pelaku niaga yang buruk.
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa melalui penunjukan arbiter yang disepakati pihak yang bersengketa. Arbiter akan memeriksa setiap aspek yang terlibat dalam sengketa, sebelum memberikan putusan akhir.
Ketua Dewan Penasihat Bali International Arbitration and Mediation Center (BIAMC), Ida Bagus Rahmadi Supancana, mengatakan, penggunaan arbitrase menjadi keniscayaan bagi pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa niaga.
“Salah satu survei yang dirilis dari Queen Mary University of London, sekitar 97 persen responden memilih arbitrase internasional sebagai metode penyelesaian sengketa, sementara 3 persen lainnya memilih jalur litigasi,” ujarnya di sela BIAMC Summit 2018 di Nusa Dua, Bali, Senin (15/10/2018).
Konferensi ini dihadiri 120 peserta, yakni pelaku usaha, advokat, dan arbiter dari sejumlah negara, antara lain Singapura, Filipina, dan Hong Kong.
Pada periode 1977-1986, hanya ada 27 perkara yang didaftarkan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Adapun dalam rentang tahun 2007-2016, BANI mencatat, ada 728 perkara yang didaftarkan.
Kendati pengajuan arbitrase meningkat, Supancana menilai, tidak semua pihak yang dikalahkan dalam proses arbitrase bisa menerima dan berkomitmen melaksanakan putusan arbitrase tersebut.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian konflik sengketa menyebutkan, putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia jika tidak bertentangan dan mengganggu ketertiban umum.
Pihak yang kalah dalam sengketa, lanjut Supancana, masih menggunakan aturan tersebut untuk tidak melaksanakan keputusan arbitrase. Adapun dalam lingkup nasional, penundaan putusan arbitrase kerap terjadi akibat kurangnya pengetahuan serta minimnya pengalaman para arbiter Indonesia.
“Mentalitas para eksekutif yang tidak mau kalah dalam proses arbitrase serta kapabilitas arbiter di Indonesia harus ditingkatkan agar proses arbitrase menjadi lebih efektif dan efisien,” ujarnya.
Sumber daya manusia
Pendiri BIAMC, Naz Juman Gulinaszaer, mengatakan, pengembangan potensi pengetahuan merupakan cara terbaik untuk mencetak arbiter andal. Dia menilai, sumber daya manusia di Indonesia punya potensi BIAMC Summit 2018 menjadi ajang bagi arbiter-arbiter Indonesia untuk berbagai pengalaman dan menjalin relasi dengan arbiter internasional.
Seusai konferensi, rangkaian acara akan dilanjutkan dengan pelatihan arbitrase internasional tersertifikasi. Pelatihan dilaksanakan selama lima hari. Berbagai materi hingga pengetahuan dan pengalaman arbiter internasional akan diberikan dalam pelatihan ini.
Pada hari terakhir pelatihan juga dilakukan uji kompetensi dari materi-materi yang telah diberikan. “Jika lulus uji kompetensi, para peserta akan memperoleh sertifikat arbitrase berstandar internasional,” kata Gulinaszaer.
Penasihat hukum ASEAN Legal Aliance (ALA), Aloysius Wee, mengatakan, secara global, menurut catatan Bank Dunia, praktik mediasi dan arbitrase internasional berjalan baik dengan nilai 2,5 dalam skala 0-3.
“Meski praktik arbitrase sudah berlangsung baik, regulasi di setiap negara ASEAN tetap harus memitigasi potensi sengketa bisnis antar-negara,” ujar Wee.
Perbaikan praktik arbitrase internasional juga selaras dengan perbaikan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia yang dirilis Bank Dunia. Pada 2018, Indonesia ada di peringkat 72 dari 190 negara. Posisi ini lebih baik dibandingkan dengan 2017, yakni di peringkat 91. (DIM)