Eriyanti, Perempuan Kopi Lereng Sindoro
Sebagai putri petani kopi di lereng Gunung Sindoro, sejak kecil, keseharian Eriyanti tak bisa lepas dari tanaman ini. Dia pun menggambarkan relasinya dengan kopi seperti anak perempuan dan boneka kesayangannya. Karena cinta itu pula, Eri berjuang memanggungkan kopi Gesing Temanggung, pun mengangkat taraf hidup petaninya.
Eriyanti, akrab disapa Eri lahir dan tumbuh di antara perkebunan kopi rakyat di Dusun Maluwih, Desa Gesing, Kecamatan Kandangan, di kawasan pegunungan Dengkeng, Kabupaten Temanggung. Sejak usia 8 tahun, Poerwanto, sang bapak, telah mengenalkan Eri kepada kopi.
“Meski perempuan, bapak tetap mendidik saya mengenal tanaman kopi. Sejak kecil, tiap hari saya diajak ke kebun. Dari rumah mesti jalan kaki dua kilometer,” kenang Eri, ditemui di kedai kopi Poer miliknya, medio September.
Sejak kecil pula, Eri mulai ikut merawat tananam kopi dari memotong dahan hingga panen kopi. Dia bergumul dengan pahit-manis kehidupan petani.
Meski perempuan, bapak tetap mendidik saya mengenal tanaman kopi. Sejak kecil, tiap hari saya diajak ke kebun. Dari rumah mesti jalan kaki dua kilometer.
Dari situ, Eri prihatin terhadap kesulitan petani. Kebiasaan petani memetik kopi hijau (belum matang) menjadi penanda betapa mereka terdesak kebutuhan hidup sehari-hari. Tanaman kopi merupakan tanaman dengan masa panen 9-11 bulan. Namun hampir semua petani kecil terjerat ijon atau utang dari tengkulak.
Beranjak dewasa, Eri merintis usaha kecil-kecilan dengan membeli kopi ceri dari petani di sekitar rumahnya. Sejak awal, Eri bertekad memberi harga lebih ketimbang yang biasa didapat petani. Dia membeli kopi ceri lebih mahal Rp 1.000 dibanding pedagang lain. Jika di pasaran, harga kopi kering Rp 24.000 per kilogram (kg), dia berani membeli Rp 25.000 per kg.
Tak hanya itu, dia juga mendorong petani berhenti menjual kopi ceri yang masih hijau atau mentah. Sebab, harganya di bawah Rp 5.000 per kilogram. Dia mengajak petani mengolah biji kopinya hingga kering hingga mereka bisa menikmati harga di atas Rp 53.000 per kilogram. Saat panen raya kopi, Eri mampu membeli sekitar 16 ton hasil panen di 6 kecamatan sentra kopi Temanggung.
Agar dihargai tinggi, kualitas kopi juga dijaga. Eri menularkan pola tanam yang dianut bapaknya. Sejak 1995, Poerwanto berhenti memakai pestisida untuk tanaman kopi. Jarak pohon kopi pun diatur. Di antara pohon dibuatkan rorak (cekungan tanah) berfungsi sebagai tempat pupuk kandang, genangan air, dan sirkulasi udara tanah.
Pola tanam dilakukan dengan sistem tumpangsari dengan menanam nanas di antara pohon kopi. Tanaman nanas berfungsi sebagai media pengalihan semut agar tidak fokus ke cabang-cabang biji kopi. Tanpa semut, biji kopi tumbuh bersih dan jauh dari hama penyakit.
Kampanye petik merah
Pengetahuan Eri bertambah usai mengikuti sekolah lapangan Pengendalian Hama terpadu (SLPHT) pada 2009. Pengendalian hama, ternyata mampu meningkatkan produksi panen dari rata-rata 10 kilogram per pohon, menjadi mencapai lebih dari 20 kilogram.
Eri pun menggiatkan kampanye petik merah kepada kaum perempuan. “Mereka yang bertugas membujuk suaminya agar tidak panen kopi muda,” ujarnya.
Cara ini efektif. Kaum ibu kini sensitif apabila ada tetangganya menjemur biji kopi warna hijau. “Mereka mulai mengenal budaya malu. Mereka malu kalau ketahuan tetangganya, terlalu banyak menjemur biji kopi muda. Karena pasti dipikir butuh uangnya mendesak banget, sehingga harus panen buah hijau,” ucap Eri.
Agar posisi tawar lebih kuat, Eri turut membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nafata di Desa Gesing. Kelompok ini beranggotakan sekitar 30 perempuan petani kopi yang mengembangkan usaha pengolahan kopi. Mereka tidak lagi menjual dalam bentuk kopi biji kering tetapi juga memproduksi kopi bubuk dengan beberapa merek dagang.
Mereka mulai mengenal budaya malu. Mereka malu kalau ketahuan tetangganya, terlalu banyak menjemur biji kopi muda. Karena pasti dipikir butuh uangnya mendesak banget, sehingga harus panen buah hijau.
Harga produk kopi olahan hasil KUB di atas harga biji kopi kering. Untuk kopi bubuk biji lanang, misalnya dihargai Rp 100.000 per kilogram. Selain kopi lanang, produk lain yang terkenal adalah kopi teh kulit, yakni kulit kopi yang dibuat ramuan minuman teh.
Eri juga sadar, petani kesulitan mengembangkan usaha karena kendala pendanaan. Dia pun turut mendirikan Lembaga Kredit Mikro (LKM) Desa Gesing. Bermodal dana Rp 100 juta, LKM ini memberikan dana talangan bagi petani yang membutuhkan modal usaha. Cara ini juga ampuh menghindarkan petani dari petik kopi muda.
Eri kemudian mencoba mengembangkan sektor hilir pengolahan kopi. “Saya mulai belajar meracik dan meramu biji kopi dari Internet. Saya belajar otodidak. Dari situ, saya paham bahwa kopi yang berkualitas tidak muncul dari racikan saja. Tetapi, sekitar 80 persen ditentukan perlakuan tanam di kebun seperti perawatan pohon, penyimpanan, dan pengolahan kopi hingga siap giling,” ujarnya.
Hasil belajar meracik kopi, mendorong Eri mengirim contoh kopi jenis robusta miliknya ikut kontes Kopi Specialty Indonesia oleh Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) di Malang, Jatim di Malang pada 2014. Bukan hanya juri lokal, kontes itu turut melibatkan juri mancanegara seperti Jerman, Australia, Jepang, dan Thailand.
Alhasil, kopi racikan Eri yang berlomba atas nama Kelompok Tani Ngudi Mulyo, memenangi juara lomba itu untuk kategori robusta. Juara nasional juga disabet kopi racikan Eri pada kontes Kopi Specialty 2017 di Grand Sahid Jaya, Jakarta yang dihelat bersamaan International Coffee Conference on Climate Change and Soil Degradation (IC4SD).
Sejak kemenangan di kontes Kopi Specialty 2014, kopi robusta Desa Gesing langsung melejit. Peminatnya meluas. Menurut Eri, kopi olahannya banyak dipesan pembeli dari berbagai daerah seperti Denpasar, Kupang, Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Cibubur, dan Solo. Belakangan, pembeli dari Malaysia dan Ceko juga datang langsung ke Desa Gesing untuk mendapatkan kopi secara langsung dari petani.
Agar lebih mudah bertemu pembeli, Eri membuka kedai kopi Poer yang diambil dari nama bapaknya Poerwanto. Kedai di tengah dusun kecil ini buka mulai pukul 16.00 sampai pukul 21.00. Potensi ekonomi yang akhirnya diikuti sejumlah anak muda lokal yang mendirikan dua kedai kopi lain di Desa Gesing.
Kini, Eri dan karyawannya bisa menghasilkan kopi bubuk hingga 90 kilogram per bulan. Adapun biji kopi grade A hasil olahannya, rutin diekspor ke Ceko dan Malaysia melalui perantara. Saat ini sebenarnya ada permintaan mengirim kopi kering (green bean) ke Singapura secara rutin sebanyak 15 ton-20 ton. Namun, sejumlah kelompok tani kopi di Temanggung masih belum berani menyuplai permintaan itu secara kontinu.
Eriyanti
Lahir: 14 Oktober 1981
Pendidikan: SMK Swadaya Temanggung (lulus 2000)
Suami: D. Yono Farochman
Anak-anak:
- Adhila Sukma Pramudita
- Zeta Ragil Trisila
Kursus: Sekolah Lapang Pengendalian
Hama Terpadu (SLPHT) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah 2009
Pekerjaan: pemilik Kedai Kopi Poer
- Ketua Lembaga Kredit Mikro Desa
Gesing
- Pegiat petani kopi organik
- Pegiat KUB Nafata Desa Gesing
Penghargaan:
- Juara nasional kontes Kopi Specalty Indonesia (AEKI) jenis Robusta 2014
- Juara nasional kontes Kopi Specialty Indonesia (AEKI) jenis Robusta 2017