JAKARTA, KOMPAS--Indonesia, bersama negara-negara yang tergabung dalam G20, meminta Organisasi Perdagangan Dunia untuk memperkuat peran mengatasi unilateralisme. Pengenaan tarif secara sepihak oleh satu negara tersebut dinilai akan menghambat pertumbuhan ekonomi global dan merugikan negara-negara berkembang.
Langkah itu dilakukan menyusul munculnya berbagai persoalan yang dihadapi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di tengah perang dagang Amerika Serikat-China yang memicu proteksionisme di sejumlah negara. Persoalan-persoalan itu antara lain sejumlah perundingan yang mandek, hasil negosiasi yang tidak seimbang, dan pemilihan anggota Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) dan Badan Banding (AB) WTO yang belum kunjung selesai.
“Jika persoalan-persoalan itu tidak segera diselesaikan, sistem perdagangan global bisa terhambat. Untuk itu, para menteri negara-negara anggota G20 menyepakati pentingnya untuk segera merevitalisasi WTO, sehingga tiga fungsi utamanya, yaitu perundingan, pengawasan, dan penanganan sengketa, bisa berjalan baik,” kata Staf Khusus Bidang Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Lili Yan Ing dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Lili yang juga pemimpin delegasi Indonesia pada Pertemuan Menteri Perdagangan dan Investasi G20 di Argentina pada 14 September 2018, menegaskan, Indonesia bersama G20 mendukung penuh langkah WTO menyelesaikan persoalan perdagangan global. Langkah itu termasuk mengoptimalkan peran di tengah ketegangan perdagangan global dan ancaman proteksionisme.
Menurut Lili, G20 mengkhawatirkan kondisi perdagangan global saat ini dan proteksionisme yang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia. Unilateralisme dinilai dapat menurunkan perdagangan internasional dan mendistorsi sistem perdagangan multilateral.
Para menteri G20 juga menyepakati pentingnya meningkatkan perdagangan produk pertanian rantai nilai global yang melibatkan petani, usaha mikro kecil dan menengah, serta perempuan. Tujuannya, menjamin ketersediaan pangan global. Oleh karena itu, rumusan kebijakan global terkait rantai nilai produk pertanian pangan juga perlu dirumuskan.
“Indonesia juga menekankan pentingnya negara-negara G20 tidak melakukan proteksionisme, tidak menerapkan standar berlebihan, dan tidak memberikan subsidi besar-besaran terhadap produk pertanian yang akan mendistorsi pasar,” kata dia.
Lili menambahkan, Indonesia terbuka terhadap diskusi perluasan mandat WTO sepanjang diperlukan agar fungsi WTO lebih baik. Namun, hal itu bisa dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Indonesia juga mengingatkan, masih ada pekerjaan rumah yang belum diselesaikan WTO, seperti subsidi bidang pertanian dan pengaturan penangkapan ikan yang selama ini ilegal, tidak terdaftar, dan tidak diatur.
Saat ini Indonesia sedang menghadapi berbagai hambatan perdagangan yang menyebabkan kinerja ekspor nonmigas tidak optimal. Dua di antara hambatan perdagangan itu adalah kenaikan bea masuk minyak sawit mentah dan produk turunannya di India, serta kebijakan Uni Eropa yang akan menerapkan larangan penggunaan biodiesel sebagai energi terbarukan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Agustus 2018 defisit 4,08 miliar dollar AS. Kinerja ekspor nonmigas merosot sehingga tidak mampu menutup defisit sektor migas.
Pada Januari-Agustus 2018, surplus neraca perdagangan nonmigas 4,26 miliar dollar AS, lebih rendah dari surplus Januari-Agustus 2017 yang sebesar 14,464 miliar dollar AS.
Legitimasi
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, dalam kondisi seperti saat ini, perdagangan multilateral menjadi semakin kurang menarik. Negera-negara di dunia lebih cenderung memilih perdagangan regional atau bilateral.
WTO seperti kehilangan legitimasinya di tengah tekanan perang dagang AS-China yang meningkat dan proteksionisme di dunia. Kendati demikian, mekanisme penyelesaikan sengketa WTO untuk mengatasi hambatan-hambatan perdagangan masih diperlukan sebagai mesin untuk menegakkan perdagangan yang adil.
“Keseimbangan dalam perdagangan global saat ini sangat diperlukan. Perdagangan bebas itu sebenarnya tidak benar-benar bebas, sehingga Indonesia perlu mendesak negara-negara maju membuka akses pasar yang seimbang untuk negara berkembang, bukan malah menjadikan negara berkembang sebagai pasar mereka,” kata dia.
Rachmi menambahkan, perjuangan Indonesia bersama G20 terkait isu pertanian negara berkembang harus terus didesakkan ke negara-negara maju. Dalam putaran Konferensi Tingkat Menteri WTO selanjutnya, isu pertanian harus bisa menjadi prioritas pencapaian, bukan isu-isu baru yang lebih menguntungkan negara maju. (HEN)