Pelemahan rupiah terhadap dollar AS masih berlanjut. Persoalan eksternal menjadi penyebab utama gejolak nilai tukar, antara lain tekanan sengketa dagang Amerika Serikat-China yang masih tinggi. Rencana Bank Sentral AS, The Fed, untuk menaikkan suku bunga acuannya juga menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
Di dalam negeri, sentimen negatif ini berhubungan dengan “daya tahan” Indonesia dalam menghadapi guncangan. Dengan transaksi berjalan yang defisit, bisa dikatakan, daya tahan Indonesia menghadapi guncangan eksternal tak sekuat negara-negara lain yang transaksi berjalannya surplus.
Pada triwulan I-2018, transaksi berjalan Indonesia defisit 5,717 miliar dollar AS atau 2,21 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit semakin dalam pada triwulan II-2018, yakni sebesar 8,028 miliar dollar AS atau 3,04 persen PDB.
Persoalan daya tahan yang tak optimal sehingga berdampak pada pelemahan rupiah ini sebenarnya sudah bisa diperkirakan jauh-jauh hari. Setidaknya, sejak triwulan IV-2011, saat transaksi berjalan Indonesia defisit.
Defisit, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya kekurangan. Transaksi berjalan menunjukkan kegiatan ekspor-impor barang, jasa, dan pendapatan.
Transaksi berjalan yang defisit artinya kegiatan ekspor-impor barang, jasa, dan pendapatan dalam kondisi kekurangan. Lebih gampang disebutkan, kemampuan menghasilkan devisa dari berbagai kegiatan itu lebih rendah dari keharusan membayar devisa untuk berbagai kegiatan ekonomi itu. Atau, devisa yang dihasilkan dari berbagai kegiatan itu lebih kecil dari devisa yang digunakan untuk membayar seluruh kegiatan tersebut.
Dengan kondisi transaksi berjalan yang defisit, maka Indonesia bisa disebut sebagai negara yang membutuhkan dollar AS. Saat investor membawa pasokan dollar AS di dunia menuju negara-negara yang memberikan imbal hasil lebih tinggi, maka dollar AS di Indonesia menjadi mahal karena pasokan di pasar keuangan dalam negeri berkurang. Dengan kata lain, nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berdampak pada sejumlah hal, di antaranya utang luar negeri. Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia per Juli 2018 sebesar 357,976 miliar dollar AS. Jumlah itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 180,831 miliar dollar AS dan utang swasta 177,146 miliar dollar AS.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Selasa (18/9/2018), nilai tukar Rp 14.908 per dollar AS. Dihitung berdasarkan nilai tukar itu, utang luar negeri RI senilai Rp 5.336,7 triliun. Jika dibandingkan dengan kurs referensi Jisdor pada 2 Juli 2018, yakni Rp 14.331 per dollar AS, utang luar negeri per akhir Juli senilai Rp 5.130,2 triliun. Dengan perhitungan itu, pelemahan Rp 577 per dollar AS ternyata berdampak pada lonjakan utang luar negeri yang dikalkulasi dalam rupiah sebesar Rp 206,5 triliun.
Bagi swasta yang memiliki utang dalam valuta asing, namun produknya dipasarkan hanya di dalam negeri, persoalan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebab, terjadi ketidaksesuaian antara denominasi penerimaan dan pengeluaran. Lindung nilai merupakan cara untuk menghadapinya.
Lain ceritanya bagi perusahaan yang produknya diekspor, sehingga pendapatannya dalam dollar AS. Apalagi, jika perusahaan itu tidak banyak membutuhkan bahan baku atau bahan penolong dan barang modal. Bagi perusahaan yang seperti ini, bisa melepas dollar AS yang diperolehnya ke pasar. Dengan cara tersebut, pasokan dollar AS ke pasar akan lebih banyak, sehingga "harga" dollar AS bisa lebih murah. (Dewi Indriastuti)