Gejolak Kurs Tidak Mengganggu Prospek Besar ke Depan
Gejolak kurs kali ini lebih menimpa negara-negara tertentu yang disebut ”fragile five”. Sayangnya, Indonesia ada di dalamnya, termasuk Turki, Argentina, India, dan Afrika Selatan yang disebut rapuh.
Meski demikian, kesempatan besar akan pertumbuhan terutama di Asia tidak akan terhentikan. Indonesia pun termasuk dengan melanjutkan pertumbuhan tanpa henti dalam empat tahun terakhir.
Gejolak kurs tidak menghentikan apa pun soal deru pembangunan. Lebih lagi, penyebab gejolak kurs terakhir pun berbeda. Ini bukan semata-mata karena faktor domestik. Ada pengetatan kembali uang beredar di AS yang menyebabkan pelarian modal dari negara-negara berkembang terutama ke AS. Situasi ini berbeda dengan pelarian modal besar-besaran pada dekade 1990-an yang disebabkan bolong utang.
Gejolak kurs di negara-negara berkembang bukan pertanda masa sangat suram.
Ray Dalio, seorang manajer investasi, tidak melihat situasi berbahaya di negara berkembang secara keseluruhan. Hal serupa dikatakan Stephen Roach, profesor dari Yale University, bahwa fondasi ekonomi negara berkembang jauh lebih baik dari situasi 1997. Keduanya tidak khawatir soal posisi negara-negara berkembang sekarang.
Gejolak kurs di negara-negara berkembang bukan pertanda masa sangat suram. Bahkan, ketika pasar sedang bergolak di negara berkembang, ada celah masuk, dalam pandangan ahli keuangan kawasan.
”Ketika pasar rakus, takutlah. Ketika pasar takut, masuklah. Ingat pesan Warren Buffett,” kata Tan Su Shan, Direktur Pelaksana DBS, merujuk pada ucapan Buffett, pakar pasar yang mendapatkan kekayaan besar dari investasi di pasar modal dan pasar uang.
Gejolak kurs di negara berkembang bahkan dikatakan sedang mendekati titik balik. Kurs dollar AS yang menguat tidak jaminan terus berlangsung, kata Chris Siniakov, Direktur Pelaksana Franklin Templeton Investments. ”Kami di Australia melihat dan fokus ke kawasan Asia, yang ada dalam posisi anggaran lebih baik,” kata Siniakov meski mengatakan Indonesia terus berpotensi menghadapi tekanan.
Meski demikian, dalam pandangan sebagian, Indonesia telah diserang berlebihan. ”Indonesia menghadapi hukuman pasar secara tak proporsional,” kata Simon Hopkins, Chief Executive Officer (CEO) Milltrust International Group, 17 September. Janganlah gejolak kurs menghilangkan pandangan soal prospek ekonomi yang nyata, lanjut Hopkins.
Dollar AS rapuh
Tambahan untuk itu, pelarian modal kembali ke negara-negara maju, terutama AS dengan alasan ada pertumbuhan, kini mulai diragukan. Mantan Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen bahkan mengatakan tidak melihat kenaikan permintaan pada tenaga kerja dan investasi di AS akhir-akhir ini. Dia menyarankan Bank Sentral AS menjaga suku bunga rendah untuk menghindari risiko stagflasi, julukan bagi stagnasi ekonomi yang diikuti inflasi.
Ketakutan resesi akan terjadi di AS tetap ada dan sudah berkali-kali disuarakan ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2013, Robert J Shiller. Ada gelembung berupa harga-harga saham yang meningkat tanpa dukungan ekonomi memadai. Meskipun korporasi AS mengalami peningkatan harga saham, itu sebagian besar didorong kinerja bisnis mereka di dunia, khususnya Asia.
Balik ke negara-negara maju, AS dan Eropa pun tidak belajar penuh dari kesalahan 2008, ketika regulasi longgar penyebab resesi. Robert Skidelsky, profesor emeritus ekonomi politik di University of Warwick, tidak melihat AS dan Eropa mengatasi akar resesi 2008.
Kini, di bawah Presiden AS Donald Trump, regulasi kembali dilonggarkan, salah satu penyebab kekacauan sektor keuangan. Di bawah Trump, utang ditingkatkan lagi karena pembengkakan defisit anggaran AS. Ini merapuhkan posisi dollar AS.
Tekanan dagang oleh Trump kepada negara-negara mitra bukan hanya karena alasan negara-negara lain telah merampas hak-hak pekerja AS. Daya saing dan pasar kini ada di Asia. Tidak ada pemaksaan dan tidak ada perampasan dalam persaingan internasional. Itu semua diatur mekanisme pasar, seperti didengungkan ekonom AS, Adam Smith. Mustahil Trump lebih pintar soal mekanisme perekonomian ketimbang Adam Smith.
Bahkan, laporan Bank Sentral AS menyebutkan, ada pelambatan ekonomi karena biaya naik termasuk akibat tarif impor, seperti diberitakan Bloomberg, 13 September.
Fondasi sangat kuat
Para pemerhati Wall Sreet dan ekonomi fundamental tidak melihat masa depan suram Asia. ”Jangan terlalu fokus pada perkembangan hari demi hari. Sejak 50 tahun lalu, saya sudah menekankan kepada Wall Street, masa depan ekonomi ada pada inovasi pengembangan teknologi. Lihatlah juga kelas menengah kini terbesar di Asia,” tutur Michael Milken.
Hal serupa dikatakan Ketua Loyd’s Bruce Carnegie-Brown. ”Kami melihat banyak kesempatan bertumbuh di China,” ujarnya. Ada kesempatan besar juga karena inisiatif China soal Jalur Sutra modern.
Demikian juga di luar China, ada kesempatan besar. Di Asia, hingga Myanmar pun ketiban prospek cerah termasuk kebutuhan akan properti seperti disuarakan Serge Pun, pendiri SPA Group, konglomerat Myanmar yang bergerak mulai dari bidang makanan, minuman, jasa keuangan, hingga kesehatan.
Hanya saja, Asia perlu membangun untuk merealisasikan semua potensi itu seperti dikatakan Francis Yeoh, Presiden Eksekutif YTL Group of Companies. Dia melihat cerah China dan kawasan.
Pandangan soal Indonesia
Indonesia juga cerah meski ada suara miring soal utang, yang nyatanya dipakai membangun jalan. Bandingkan dengan utang-utang sebelumnya yang melahirkan pertanyaan. Ke mana alokasi utang selama ini sehubungan dengan fakta bahwa negara minim infrastruktur? Masalah ekonomi sekarang tidak muncul mendadak, termasuk soal kenaikan utang. Itu juga resultante kebijakan lama yang kini sedang dicoba ditegakkan.
Utang sekarang, sejauh dipakai untuk fondasi perekonomian secara benar seperti infrastruktur, akan membuahkan.
Saatnya meninggalkan diskusi atau debat semata. Indonesia harus lebih berorientasi internasional dari sisi pemikiran. Seperti kata mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong, saatnya Indonesia lebih mendunia. Memikirkan Indonesia yang berjaya ke depan dalam persaingan global ketimbang terjebak hiruk-pikuk politik tak karuan tentu termasuk menjadi keharusan.
Untuk mewujudkan ini semua, bukan saja tugas pemerintah pusat, melainkan juga daerah, yang setiap pelaksanaan pilkada menjadi rebutan partai-partai. Saatnya pemimpin daerah dari partai-partai berpikir visioner demi rakyat.
Dalam tugas ini termasuk pengikisan akar korupsi, baik oleh pusat maupun daerah. Indonesia ada di Asia dengan potensi yang begitu besar dan tinggal mengeksekusi segala kebijakan dengan sebaiknya.
Skenario jangka panjang perekonomian dunia, menurut Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam laporannya yang diluncurkan pada 24 Agustus lalu, China, India, dan Indonesia akan memiliki porsi ekonomi sangat besar. Hal itu disimpulkan lewat kalkulasi tentang stok modal, produktivitas, dan pertumbuhan pekerja. Asia sebagai mesin ekonomi global sekarang tidak terpatahkan hingga 2060.
Lembaga terkenal dan pengamat soal pasar seperti McKinsey juga begitu optimistis akan pasar Indonesia, termasuk dari sisi potensi ekonomi digital dalam laporannya pada Agustus 2018. Hingga Qatar National Bank juga melihat Indonesia, bersama 6 negara ASEAN, sangat pesat perkembangannya. (AP/AFP/REUTERS)