JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah patut mewaspadai beban fiskal akibat harga bahan bakar minyak jenis solar bersubsidi dan premium yang dijual di bawah harga keekonomian. Di satu sisi, pemerintah memastikan harga kedua jenis bahan bakar tersebut tidak berubah sampai 2019 nanti. Beban fiskal yang harus ditanggung pemerintah di tahun anggaran 2019 diperkirakan sekitar Rp 45 triliun.
Dua hal utama yang menjadi dasar penentuan harga jual bahan bakar adalah harga minyak mentah (BBM) dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dalam asumsi makro APBN 2018, harga minyak ditentukan sebesar 48 dollar AS per barrel, sedangkan rata-rata harga minyak dunia pada Agustus 2018 adalah 72,44 dollar AS per barrel. Begitu pula asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar. Dalam APBN 2018, rupiah dipatok Rp 13.400 per dollar AS, sedangkan selama Agustus 2018 rata-ratanya mencapai Rp 14.560 per dollar AS.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, berdasarkan volume solar bersubsidi, konsumsi premium, dan penyaluran minyak tanah di 2019, ada potensi beban fiskal sebesar Rp 45 triliun yang harus ditanggung pemerintah. Beban fiskal itu timbul dari selisih harga keekonomian dengan harga jual solar subsidi, premium, dan minyak tanah. Selain menyesuaikan harga jual dengan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah, tak banyak pilihan yang bisa diambil pemerintah untuk mengurangi beban fiskal tersebut.
"Dengan kondisi harga minyak mentah dunia dan posisi nilai tukar rupiah, harga keekonomian premium adalah Rp 8.500 per liter, solar subsidi Rp 8.300 per liter, dan minyak tanah Rp 11.300 per liter. Minyak tanah yang juga disubsidi negara dijual Rp 2.500 per liter," kata Komaidi, Minggu (16/9/2018), di Jakarta.
Komaidi menambahkan, dengan situasi tersebut di atas, sangat wajar apabila badan usaha menerapkan penyesuaian harga BBM sesuai pergerakan harga minyak mentah dan posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Keputusan pemerintah menahan harga jual solar bersubsidi dan premium untuk melindungi daya beli masyarakat dipandang baik. Namun, kata dia, pemerintah harus siap menanggung risiko fiskal dari kebijakan tersebut.
Beban fiskal timbul dari selisih harga keekonomian dengan harga jual solar subsidi, premium, dan minyak tanah.
"Jika harga bahan baku (minyak mentah) naik, wajar ketika badan usaha ikut menaikkan harga jual BBM, terutama BBM untuk jenis yang dikonsumsi masyarakat mampu. Di satu sisi, pemerintah bisa saja menghemat anggaran belanja untuk mengurangi bebas fiskal," ucap Komaidi.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi, menegaskan, pemerintah akan tetap mempertahankan harga jual BBM jenis solar subsidi dan premium sampai 2019 nanti. Keputusan tersebut sebagai upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat.
"Instruksi Presiden Joko Widodo adalah agar menjaga daya beli masyarakat. Oleh karena itu, harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi tidak naik meskipun harga minyak mentah naik," kata Agung.
Pemerintah telah menaikkan subsidi energi tahun ini tanpa melalui mekanisme APBN Perubahan 2018. Subsidi energi, yang meliputi subsidi BBM dan listrik, membengkak dari Rp 94,5 triliun menjadi Rp 163,5 triliun. Pembengkakan subsidi timbul akibat naiknya harga minyak mentah dunia yang melampauai asumsi makro dalam APBN 2018, serta posisi rupiah yang terus melemah terhadap dollar AS.
Sebelumnya, di era awal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, harga jual BBM untuk jenis premium dan solar bersubsidi dievaluasi setiap tiga bulan. Evaluasi didasarkan pergerakan harga minyak mentah dunia dan nilai kurs rupiah terhadap dollar AS. Berdasar pergerakan dua indikator utama tersebut, harga BBM bisa naik dan bisa turun. Harga jual premium dan solar bersubsidi saat ini tidak berubah sejak April 2016, yaitu masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter.
BBM Satu Harga
Sementara itu, hingga Kamis (13/9/2018), PT Pertamina (Persero) telah merealisasikan program BBM satu harga di 77 titik. Jumlah tersebut terdiri dari realisasi di 2017 sebanyak 54 titik dan 23 titik sampai September 2018. Adapun target tahun ini adalah 67 titik program BBM satu harga. Program BBM satu harga menjual BBM jenis solar subsidi dan premium dengan harga sesuai yang ditetapkan pemerintah.
"Titik ke-23 untuk program BBM satu harga tahun ini ada di Kecamatan Bawolato, Kabupaten Nias, Sumatera Utara. Program ini dikhususkan untuk masyarakat di wilayah terdepan, terluar, dan terpencil," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito.