JAKARTA, KOMPAS – Kematian massal ikan di Danau Toba, Sumatera Utara kembali terjadi tahun ini dengan jumlah 180 ton-200 ton. Setelah melakukan riset, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyimpulkan danau ini perlu perawatan.
Menurut BRSDM, kematian massal ikan disebabkan kawasan keramba jaring apung sangat dangkal, di kawasan danau yang tertutup, dan kepadatan ikan sangat tinggi. Pendangkalan semakin cepat karena banyaknya sumber yang masuk ke danau, tetapi tidak ada siklus keluar. Saat ini kedalaman keramba jaring apung di Danau Toba rata-rata 20 meter, sedangkan standar minimal 50 meter.
“Danau itu media tertutup atau tidak mengalir, tapi banyak yang mengalir ke dalamnya, sehingga mengalami pendangkalan. Jadi, seharusnya danau dikeruk atau dibersihkan,” kata Kepala BRSDM Sjarief Widjaja, Kamis (13/9/2018).
Penyebab Danau Toba menjadi dangkal antara lain benda-benda yang mengalir dari 11 aliran sungai ke danau, kotoran ternak, limbah hotel dan pemukiman warga, sampah perkebunan dan sawah, erosi, limbah ikan, dan pakan ikan yang jatuh ke danau. Oleh karena itu, KKP mengajak masyarakat sekitar Danau Toba untuk mulai peduli.
Untuk mengurangi dampak dari pakan yang tidak termakan ikan budi daya, dapat dilakukan dengan mengubah desain keramba jaring apung. Masyarakat disarankan menggunakan keramba jaring apung ganda. Ikan disebar 50 persen di jaring dalam dan 50 persen di jaring luar. Pemberian makan cukup untuk ikan yang berada di jaring dalam, jadi ikan di jaring luar hanya mengandalkan dari jaring dalam. Sehingga, pakan yang terbuang menjadi minim.
Desain lain yang ditawarkan yaitu jaring dibuat kubus di atas tetapi mengerucut ke bawah. Bentuk ini dapat menampung limbah pakan ikan. Sehingga, setelah panen limbah dapat ikut dikeluarkan.
Jika danau sehat, maka daya panen akan meningkat. Daya panen pun harus dipatuhi agar tidak terjadi kematian massal ikan.
“Tiap tahun, daya panen danau berubah. Saat ini daya panen Danau Toba hanya 45.000 ton sampai dengan 65.000 ton ikan. Sedangkan realisasinya dipaksakan panen 80.000 ton. Ikan terlalu padat dan kekurangan oksigen sehingga mati massal,” kata Profesor Riset KKP Krismono.
Kekurangan oksigen semakin parah dengan tumbuhnya berbagai alga dan gulma liar yang tak terkendali. Oksigen di danau pun berkurang untuk ikan budidaya. Tetapi, gulma seperti eceng gondok tidak bisa dihilangkan begitu saja. Pasalnya, tanaman ini membantu penyerapan polutan di danau.
Oleh karena itu, eceng gondok perlu dikendalikan dan dimanfaatkan. Eceng gondok dapat dibuat dalam petak yang dibatasi, dengan kepadatan maksimal 10 kilogram per meter persegi atau 10-25 eceng gondok per meter persegi. Eceng gondok secara rutin juga dapat dimanfaatkan, yakni daun dijadikan pakan ikan, batang untuk industri kreatif, dan akar untuk kompos.
Jika industri kreatif sudah berjalan, KKP berharap warga tidak hanya bergantung lagi pada keramba jaring apung.
Bulan Februari hingga Juni menjadi waktu yang tepat untuk melakukan budi daya. Selama lima bulan ini, dapat dilakukan dua kali tebar dan panen ikan. Pada Oktober, November, Desember, dan Januari diharapkan mengurangi pemberian pakan, kurangi kepadatan ikan pada keramba jaring apung atau melakukan panen awal. Di waktu ini pula warga harus memperhatikan kondisi lingkungan perairan.
Juli menjadi bulan peringatan dini. Pada bulan ini temperatur air merendah dan oksigen merendah. Selain itu, hujan lebat sering terjadi sehingga air sungai mengalir kencang.
Selanjutnya pada Agustus dan September menjadi bulan bahaya. Warga disarankan menghentikan kegiatan budi daya, memelihara ikan yang tahan terhadap cuaca jelek, bahkan merelokasi keramba jaring apung ke area yang lebih dalam.
Sementara itu, KKP juga mengharapkan pemerintah daerah atau dinas setempat untuk turut aktif. Selain mengingatkan warga untuk tidak melakukan budi daya di bulan berbahaya, penyehatan danau juga harus didukung. (E12)