JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor Pasal 22 untuk 1.147 item komoditas hingga empat kali lipat. Pengendalian impor mendesak dilakukan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan yang turut menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pengendalian impor dilakukan melalui instrumen fiskal sehingga akan terbit Peraturan Menteri Keuangan baru. PMK baru mengatur peningkatan tarif PPh impor untuk 1.147 item komoditas dengan mempertimbangkan kategori barang konsumsi, ketersediaan produksi dalam negeri, dan perkembangan industri nasional.
Tarif pajak 210 barang mewah, seperti mobil utuh (completely built up/CBU) dan motor besar, naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen. PPh impor 218 barang konsumsi yang bisa diproduksi dalam negeri, seperti barang elektronik, kosmetik, dan peralatan masak, naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Adapun PPh impor 719 barang yang digunakan dalam proses konsumsi, seperti bahan bangunan dan produk tekstil, naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen.
“PMK sudah ditandatangani Rabu. PMK akan berlaku tujuh hari setelah ditandatangani,” kata Sri Mulyani dalam jumpa pers Kebijakan Pemerintah Untuk Memperbaiki Pengendalian Defisit Neraca Transaksi Berjalan di Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Sri Mulyani mengatakan, jika penerapan PPh impor terhadap 1.147 barang ini diasumsikan sama dengan bea masuk, akan terjadi penurunan impor sekitar 2 persen. Pada 2017, nilai impor 1.147 barang itu sebesar 6,6 miliar dollar AS, sementara Januari-Agustus 2018 sudah mencapai 5 miliar dollar AS. Tanpa penyesuaian tarif, impor setahun akan naik signifikan.
Pembayaran PPh impor Pasal 22 merupakan pembayaran pajak penghasilan di muka yang dapat dikreditkan dan bisa terutang di akhir tahun pajak. Untuk itu, kenaikan PPh Impor dinilai tak akan memberatkan industri manufaktur. Ongkos produksi justru bisa berkurang karena industri diarahkan memakai bahan baku dalam negeri. Dampak jangka panjang bisa menciptakan kemandirian industri.
Sri Mulyani mengatakan, implementasi peningkatan PPh impor akan dieksekusi oleh Dirjen Bea dan Cukai. Peta jalan penerapan termasuk masa transisi industri sudah disiapkan bersama Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan. Peningkatan PPh impor diharapkan bisa memperbaiki sentimen negatif dari defisit transaksi berjalan yang makin tajam.
Pada 2018, defisit semakin dalam, dari 5,717 miliar dollar AS atau 2,21 persen produk domestik bruto (PDB) pada triwulan I-2018 menjadi 8,028 miliar dollar AS atau 3,04 persen PDB pada triwulan II-2018.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai peningkatan PPh impor merupakan langkah tepat. Selain memperbaiki defisit transaksi berjalan, PPh impor bisa mendorong momentum kebangkitan industri dalam negeri. Kendati demikian, pantauan dan evaluasi mesti dilakukan berkala agar kebijakan bisa tepat sasaran. Di sisi lain, kebijakan ini tidak berdampak signifikan terhadap penerimaan negara.
Kesatuan kebijakan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, upaya memperbaiki neraca perdagangan ditempuh melalui kesatuan kebijakan mencakup penggunaan biodiesel 20 persen (B20), kenaikan PPh impor Pasal 22, peningkatan penggunaan komponen lokal, kepastian dan kemudahan layanan e-dagang termasuk penyesuaian barang kiriman, dan pengendalian barang impor di bea cukai.
“Harus diakui langkah-langkah yang telah disiapkan pemerintah sulit mengimbangi kecepatan pergerakan dinamika global,” kata Darmin.
Selain pengendalian impor, upaya meningkatkan ekspor juga ditempuh melalui promosi pariwisata. Infrastruktur dasar di daerah wisata, seperti Mandalika (Nusa Tenggara Barat) dan Danau Toba (Sumatera Utara) diperbaiki. Usaha mikro, kecil, dan menengah, mendapat kredit usaha rakyat khusus sektor pariwisata. Nantinya, toko-toko cinderamata diarahkan menjual barang lokal.