JAKARTA, KOMPAS — Peran investor domestik sebagai salah satu penyangga stabilitas rupiah perlu ditingkatkan. Pada saat investor asing keluar dari pasar obligasi, investor domestik dapat masuk membeli obligasi pemerintah.
Data Tim Ekonomi Mandiri Sekuritas yang dikutip Kompas, Minggu (2/9/2018), menunjukkan, kepemilikan dan pembelian bersih obligasi pemerintah oleh investor domestik tumbuh. Pada 27 Agustus 2018, pembelian bersih obligasi pemerintah oleh dana pensiun dan asuransi Rp 51,2 triliun dari total penerbitan bersih Rp 150,7 triliun. Jumlah itu lebih tinggi dari akhir 2017 yang sebesar Rp 23,3 triliun.
Sementara obligasi yang dibeli investor asing hanya Rp 11,6 triliun. Pada akhir 2018 diperkirakan pembelian bersih obligasi pemerintah oleh dana pensiun dan asuransi Rp 56 triliun, sedangkan oleh investor asing Rp 100,1 triliun.
Analis Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto, mengatakan, peran investor domestik, terutama dana pensiun dan asuransi, cukup besar. Mereka menjadi penyangga ketika terjadi aliran modal asing keluar dari dalam negeri.
Jika peran itu ditingkatkan, dana pensiun dan asuransi juga dapat menjadi penyangga pembiayaan defisit anggaran. Tahun ini, dukungan investor domestik untuk membiayai negara tetap ada. ”Pemerintah tetap membutuhkan Rp 100 triliun dari investor asing untuk membiayai defisit anggaran yang saat ini 2,2 persen dari produk domestik bruto,” ujarnya.
Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait saat ini tengah berupaya mengatasi pelemahan rupiah. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (31/8/2018), nilai tukar Rp 14.711 per dollar AS. Posisi terendah sebelumnya terjadi pada 29 September 2015, yakni Rp 14.728 per dollar AS. Dari akhir Desember 2017 hingga 31 Agustus 2018, rupiah di pasar tunai terdepresiasi 8,01 persen.
Titik lemah Indonesia saat ini adalah kepemilikan portofolio obligasi pemerintah oleh asing yang masih cukup besar, yaitu sekitar 37 persen. Di sisi lain, impor migas dan nonmigas meningkat signifikan sepanjang semester I-2018. Hal itu menyebabkan defisit tranksasi berjalan pada triwulan II-2018 sebesar 8 miliar dollar AS atau 3 persen PDB.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pemerintah serius mengurangi defisit transaksi berjalan dari sisi pengendalian impor. Prioritasnya bukan pada penundaan proyek, melainkan memperkuat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di sejumlah proyek pemerintah.
Yang jadi perhatian utama adalah sektor minyak dan gas bumi serta proyek pembangunan pembangkit listrik karena TKDN masih sangat rendah. Banyak komponen yang tersedia di dalam negeri yang tidak digunakan, tetapi malah memilih impor.
”Pemerintah segera mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan tim pengawas TKDN. Tujuannya, mengawasi pelaksanaan regulasi TKDN. Jika ada yang melanggar ketentuan TKDN, pemerintah akan menghentikan proyek itu,” katanya.
Dampak berganda
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan, tim ekonom Bank Mandiri melihat, paling tidak ada dua tipe infrastruktur yang memiliki konten impor tinggi. Pertama, pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan; kedua, bangunan, instalasi listrik, gas dan air bersih, serta komunikasi.
”Efek berganda tetap perlu diperhitungkan pemerintah dalam penundaan proyek. Di sisi lain, konten impor dalam proyek-proyek itu yang bisa digantikan dengan produk dalam negeri perlu disubstitusi,” kata Anton.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengemukakan, BI memperkirakan pada akhir tahun ini defisit transaksi berjalan dapat mengarah pada 2,5 persen PDB dan pada 2019 sebesar 2 persen PDB. (HEN)