Analisis Ekonomi A Tony Prasetiantono-- Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
·4 menit baca
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah belum reda. Rupiah masih diperdagangkan di kisaran Rp 14.600 per dollar AS. Kabar terakhir dari Amerika Serikat, Gubernur Bank Sentral AS, The Fed, Jerome Powell, masih berkeras menaikkan lagi suku bunga acuan tahun ini, diperkirakan menjadi 2,50 persen, lalu menjadi 3,25 persen pada tahun depan. Rencana ini ditentang Presiden Donald Trump.
Rencana kenaikan suku bunga ini menambah tekanan terhadap rupiah. Bank Indonesia terpaksa menaikkan lagi suku bunga acuannya menjadi 5,5 persen. Satu masalah belum berakhir, timbul komplikasi baru saat perekonomian Turki dilanda krisis, sehingga meniupkan sentimen negatif global. Ekonom Paul Krugman menyebut krisis tersebut mempunyai kemiripan dengan kejadian krisis perekonomian Indonesia 20 tahun silam, 1998 (“Partying Like It’s 1998”, The New York Times, 11/8/18).
Padahal, Turki akan dijadikan acuan untuk redenominasi rupiah. Turki berhasil memangkas enam angka nol mata uangnya, sehingga satu juta lira lama bisa diubah menjadi satu lira baru pada 1 Januari 2005. Sebelumnya, lira Turki merupakan salah satu mata uang dunia terlemah sepanjang sejarah.
Pada 2001, 1 dollar AS ekuivalen dengan 1,65 juta lira Turki lama! Pecahan uang lira ada yang 20 juta lira selembar! Inflasi sangat tinggi tercermin dari harga sebotol air mineral yakni 300.000 lira, tiket bioskop 7,5 juta lira, dan Toyota Corolla 33 miliar lira!
Redenominasi lira Turki dengan menghilangkan enam angka nol bukan yang paling dramatis. Brasil pernah menghapus 18 angka nol dalam empat kali redenominasi; Argentina 13 angka nol dalam empat kali; Israel 9 angka nol dalam empat kali; Bolivia 9 angka nol dalam dua kali; serta Peru 6 angka nol dalam dua kali. Sementara, redenominasi yang menghapus angka nol lebih sedikit adalah: Ukraina (5 angka nol), Polandia (4), Meksiko (3), Rusia (3) dan Islandia (2).
Awalnya, Turki sukses mengawal kurs lira. Sesudah redenominasi, satu dollar AS ekuivalen 1,34 lira (2005); kemudian 1,50 lira (2010); 2,72 lira (2015); 3,02 lira (2016); 3,65 lira (2017); lalu 7,23 lira; sebelum membaik ke 6 lira per dollar AS (2018). Mengapa lira terdepresisasi secara dalam? Jawabnya, ketidakpercayaan karena kinerja dan reputasi perekonomiannya yang kurang baik. Defisit transaksi berjalan yang mestinya maksimal 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dilanggar ke 5,5 persen PDB, sedangkan utang pemerintah 60 persen PDB.
Perekonomian Turki juga memiliki ketergantungan tinggi pada pendanaan asing. Utang luar negerinya 53 persen PDB, yang 70 persen di antaranya oleh sektor swasta. Situasi utang dinilai Krugman memiliki kemiripan dengan Indonesia pada 1998.
Yang menarik, bagaimana mungkin lira Turki terperosok, tatkala tahun lalu perekonomiannya bisa tumbuh 7,4 persen. Bagaimana menjelaskannya? Ekonom Harvard keturunan Turki, Dani Rodrik, mengatakan, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga berkontribusi. Perekonomian Turki pada dasarnya dipacu kemudahan kredit. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dibangun dari tumpukan utang yang tidak proporsional akan berujung nestapa. Sekarang, kata Dani, Turki sedang mengalaminya (“The Economic Costs of Erdogan”, Project Syndicate, 24/8/18).
Perbandingan
Ada beberapa statistik yang bisa dibandingkan antara Turki dan Indonesia. Para ekonom sepakat, Turki krisis karena penumpukan utang luar negeri yang saat ini 453 miliar dollar AS. Sementara, utang Indonesia saat ini 387 miliar dollar AS.
Cadangan devisa Turki (124 miliar dollar AS) sedikit lebih baik dari Indonesia (118 miliar dollar AS). Cadangan devisa Turki pernah mencapai 142 miliar dollar AS (Oktober 2017), sedangkan Indonesia 132 miliar dollar AS (Februari 2018). Statistik lain, PDB Turki 900 miliar dollar AS, sedangkan Indonesia 1 triliun dollar AS.
Jadi, apa kesimpulan kasus Turki dan pelajaran terpenting yang bisa dipetik Indonesia?
Pertama, utang luar negeri, jika dibandingkan dengan PDB, Turki (50 persen) jauh lebih jelek dari Indonesia (38 persen).
Kedua, kendati redenominasi sempat sukses, namun jika tidak bisa menjaga stabilitas harga, maka mata uang lira baru akan kembali terkoreksi.
Ketiga, meskipun kondisi utang Indonesia lebih baik dari Turki, namun kewaspadaan terhadap posisi utang merupakan hal yang wajib. Upaya pemerintah menekan defisit anggaran menjadi di bawah 2 persen PDB menjadi relevan dan esensial. Berarti pemerintah memang harus “menginjak rem” pembangunan infrastruktur, yang belum terlihat dari anggaran infrastruktur Rp 420 triliun (2019), masih lebih tinggi dari posisi saat ini Rp 410 triliun (2018).
Keempat, kita perlu juga mendengar pendapat Krugman, bahwa kebijakan pengawasan devisa secara sementara perlu diaplikasikan. Indonesia sejauh ini baru sampai pada taraf mengimbau pelaku ekonomi menaruh devisanya di dalam negeri. Langkah yang lebih mengikat masih diperlukan untuk menangkal depresiasi rupiah lanjutan. *****
Analisis Ekonomi A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM