JAKARTA, KOMPAS - Sejak awal tahun 2018 Otoritas Jasa Keuangan telah menuntaskan delapan kasus tindak pidana jasa keuangan. Bekerja sama dengan Badan Reserse Kriminal Polri, OJK menyasar pelaku tindak pidana pencucian uang hasil pidana perbankan.
Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK, Rokhmad Sunanto menyebutkan, dari delapan kasus tersebut, tujuh tindak pidana dilakukan oleh perbankan dan satu oleh penyedia jasa asuransi dana pensiun.
"Jasa Asuransi melibatkan Gelora Karya Jasa Utama di Jakarta. Berkasnya sudah P21 (Pemberitahuan bahwa Hasil Penyelidikan Sudah Lengkap)," kata Sunanto, Selasa (21/8/2018), di Kantor Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta.
Modus dari setiap kasus tersebut berbeda-beda. Ada yang berupa kredit fiktif perbankan. Dalam kasus lain, ada pihak pengaju kredit memberikan jaminan yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. "Ada orang sudah selesai kredit. Namun, berkas identitas masih ada di bank. Ini (berkas) yang digunakan untuk kredit fiktif," ucap Sunanto.
Sejak tahun 2017, Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK menerima 33 berkas tindak pidana perbankan. Setiap kasus memiliki rentang waktu penanganan yang beragam berdasarkan tersangka, kelengkapan alat bukti, serta saksi ahli.
Kasus BPR
Otoritas Jasa Keuangan menuntaskan kasus tindak pidana perbankan Bank Perkreditan Rakyat Multi Artha Mas Sejahtera. Pelaku berinisial H (44), selaku komisaris, dinilai telah melakukan pencatatan dan pembukuan palsu tentang laporan keuangan periode 2013-2016.
Sunanto menjelaskan, H membuka rekening pribadi di salah satu bank swasta. Selaku pemimpin BPR, ia memerintahkan direktur operasional untuk memindahkan kas ke rekening pribadi. Ia beralasan bunga uang di bank lebih besar dari pada giro.
"Pengawasan perbankan menemukan kejanggalan dalam laporan BPR Multi Artha Mas Sejahtera. Ada aliran dana dari perusahaan ke rekening pribadi. Ini dilarang, OJK telah meminta untuk menutup (rekening pribadi) tetapi tidak dihiraukan," ucap Sunanto.
Sunanto melanjutkan, pada tahun 2016 kasus ini diserahkan ke Departemen Penyidikan OJK untuk mendalami aliran uang BPR tersebut. Tercatat dana BPR yang digelapkan oleh H mencapai Rp 6,28 miliar. H mengaku menggunakan uang tersebut untuk pinjaman mendanai usaha leasing alat berat yang disewakan ke perusahaan kontraktor properti.
"Sejak 2013, masuk uang BPR Rp 5 miliar ke rekening pribadi Haryanto. Ada juga cek sejumlah Rp 480 juta. Pelunasan kredit dari nasabah Rp 500 Juta dan penjualan inventaris BPR berupa dua mobil senilai Rp 300 Juta. Semua uang gigunakan utuk leasing, tetapi tidak berjalan mulus. H tidak mampu mengembalikan uang nasabah,” ujar Sunanto.
Kasus ini telah dilimpahkan ke kejaksaan (21/8). Atas tindakannya, H dikenai Pasal 49 ayat 1 huruf a dan b UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dengan ancaman minimal 5 tahun penjara serta denda senilai Rp 10 triliun.
OJK juga telah melimpahkan kasus ini ke Badan Reserse Kriminal Polri terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal ini dilakukan guna menelusuri penggunaan aliran dana, sehingga bisa diambil kembali. “Nanti, Lembaga Penjamin Simpanan yang akan menangani kerugian masyarakat nasabah BPR,” ujar Sunanto. (E17)